Matanurani, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dampak pandemi virus Corona telah mengganggu stabilitas sistem keuangan. Hal ini didukung oleh berbagai kebijakan yang diterapkan untuk meminimalkan penyebaran virus ini.
Seperti pembatasan sosial (social distancing) dalam bentuk pelarangan perjalanan (travel ban), penutupan perbatasan antarnegara (closed borders), penutupan sekolah, kantor, dan tempat ibadah bahkan isolasi suatu wilayah tertentu (lockdown).
Berbagai langkah ini, disinyalir menyebabkan aktivitas ekonomi menurun drastis. Terlebih, aktivitas ekonomi ini terganggu dari dua sisi sekaligus, baik dari sisi permintaan (demand) maupun dari sisi penawaran (supply).
“Gangguan dari supply dan demand, menyebabkan gangguan dari sisi ekonomi dan menyebabkan potensi gangguan pada stabilitas sistem keuangan,” ujar Sri dalam telekonferensi daring, Senin (11/5).
Adanya gangguan pada tingkat konsumsi, tingkat produksi, serta rantai pasokan global akan berujung pada penurunan output global yang sangat besar. Saat kondisi ini berlanjut, maka rambatan dampaknya juga berpotensi mengakibatkan gangguan stabilitas sistem keuangan.
Sebagai hasilnya, pada pertengahan Maret 2020 lalu, indeks volatilitas (VIX) menunjukkan tingkat kecemasan investor di pasar saham menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah. Akibatnya kinerja pasar saham di negara maju dan berkembang melemah tajam.
Indeks kepercayaan konsumen dan bisnis global juga turun tajam, melebihi tingkat penurunan saat krisis keuangan global 2008. Negara-negara berkembang mengalami arus modal keluar (capital outflow) yang sangat besar, karena investor lebih memilih untuk mencari aset yang aman (safe-haven assets).
Kemenkeu mencatat, dalam periode bulan Januari–Maret 2020 saja, arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia mencapai Rp 145,28 triliun.
Angka arus modal keluar tersebut, jauh lebih besar dibandingkan dengan periode krisis keuangan global tahun 2008 yang tercatat sebesar Rp 69,9 triliun dan taper tantrum 2013 sebesar Rp 36 triliun.
Selanjutnya, tekanan juga terlihat pada nilai tukar rupiah yang mengalami eskalasi tekanan cukup tinggi. Pada akhir Februari 2020, nilai tukar masih berada di level Rp 14.318 per dolar AS.
Namun, memasuki pekan kedua Maret 2020 melemah ke level Rp 14.778/USD. Pelemahan ini, berlanjut hingga menyentuh level terendah pada 23 Maret 2020 di level Rp 16.575/USD atau melemah 15,8% dibandingkan akhir bulan sebelumnya.
“Merespons kondisi yang dinamis di kuartal pertama tersebut, pemerintah bersama otoritas moneter dan regulator di jasa keuangan telah melakukan berbagai kebijakan. Bauran kebijakan ini dibuat, untuk meminimalkan dampak gejolak akibat Corona yang terjadi begitu singkat dan meluas secara luar biasa,” kata Sri.(Ktn).