Matanurani, Jakarta – Sekertaris Badan Pertimbangan Organisasi (BPO) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Benny Pasaribu meminta pemerintah untuk mempertimbangkan peniadaan pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya yang dilakukan mulai 15 Juli – 31 Agustus 2022.
Penulis Buku ‘Strategi Industrialisasi Indonesia 2045’ itu menyebutkan jika CPO diekspor maka industri negara lain akan menjadikan CPO jadi bahan mentah yang menghasilkan ratusan jenis produk derivatif, mulai dari Vitamin A dan E, bahan kosmetik, oleokimia, dan sebagainya.
“Karena itu kita tidak ingin Presiden Jokowi didikte oleh kaum empunya, konglomerat, dan eksportir. Pungutan ekspor sangat bagus untuk melindungi industri dalam negeri. Bahan baku CPO harusnya cukup tersedia dengan harga relatif murah. Itulah cara membuka lapangan kerja dan menghasilkan nilai tambah yang menjadi bagian dari PDB,” kata Benny kepada matanurani di Jakarta, Minggu (17/7).
Benny melanjutkan pemilik CPO biasanya adalah kaum empunya yang tentu kaya raya karena mereka sekaligus pemilik pabriknya. Tapi petani hanya punya pohon sawit dan hasilnya tandan buah segar (TBS) yang dijual kepada pengumpul atau tengkulak.
“Jadi, sebaiknya dipertimbangkan ulang. Kita mau agar industri dalam negeri berkembang dan petani sawit juga sejahtera. Kebijakan pemberdayaan petani bisa dilakukan dengan banyak cara, namun tidak harus dengan penghapusan pungutan ekspor,” pungkas Benny.
Seperti diketahui pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.05/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan.
Dimana dalam revisi PMK tersebut, tarif pungutan ekspor yang dikumpulkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), untuk semua produk minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya menjadi nol.