Matanurani, Jakarta – Data tuberkulosis atau TBC di Indonesia tahun 2019 menemukan sebanyak 842 kasus yang positif dan tercatat oleh pemerintah. Angka tersebut diprediksi masih terus bertambah. Namun, kasus TBC seolah ‘tenggelam’ di tengah wabah virus corona jenis baru atau COVID-19.
Padahal, dibanding corona, bakteri penyebab penyakit TBC lebih sulit dimusnahkan. Penyebarannya pun juga lebih rentan karena pasien TBC harus berobat dalam jangka panjang.
“Pandemi COVID-19 ini sudah pasti terjadi gangguan penanganan medis bagi pasien TBC. Jangan sampai pelayanan pasien TBC terputus terutama TB yang resisten atau non-resisten,” ujar Komite Ahli TB Indonesia dr. Pandu Riono, MPH, Ph.D., dalam telekonferens Kementerian Kesehatan RI, Selasa, (24/3).
Pandu menyebut bahwa penanganan TBC tetap harus dilakukan di tengah pandemi COVID-19. Dia bahkan menyebut, perang terhadap TBC sudah ada sejak lama dan masih berlangsung hingga kini.
“Dengan perang bersama ini, (harapannya) dengan cepat dapat atasi corona, (sayangnya) masalah TBC tetap berlanjut. Istilahnya long war,” kata dia.
Ia menyebut, perang terhadap TBC terjadi dalam waktu yang lama karena membutuhkan kedisiplinan pasiennya. Maka dari itu, Pandu berharap layanan untuk pasien TBC tetap ada dan dipisahkan dengan pasien COVID-19.
“Fasilitas kesehatan untuk corona dipisah. Sehingga layanan yang lain tidak tercampur dan tidak terganggu proses penyembuhannya. Kita harus berbagi slot antara diagnostik TBC dan corona agar layanan TBC jangan terbengkalai,” terangnya.(Viv).