Matanurani, Jakarta – Ketua Ikatan Advokat Indonesia Todung Mulya Lubis menilai pemikiran Yusril masih tradisional soal ketatanegaraan dan demokrasi. Akibatnya, Yusril menyebut pansus angket Dewan Perwakilan Rakyat untuk Komisi Pemberantasan Korupsi sah. Yusril menurut Todong menanggap KPK bagian dari eksekutif sebagai salah satu pilar demokrasi sehingga bisa jadi target angket DPR.
“Pembahasan tradisional mengenai ilmu ketatanegaraan memang menghasilkan orang seperti Yusril yang melihat arsitektur ketatanegaraan itu cuma eksekutif, legislatif, yudikatif,” kata Todung saat jumpa media di kantor Imparsial, Jakarta Selatan, Rabu (12/7).
Padahal, kata Todung, konsep ketatanegaraan demokrasi sudah berubah dan tidak hanya terdiri tiga pilar tersebut. Ada pilar lain yang juga menunjang keberlangsungan demokrasi, salah satunya adalah KPK.
“KPK itu lembaga yang disebut state auxiliary agencies (institusi negara penunjang). Dia bukan eksekutif bukan legislatif bukan Yudikatif, tapi menjalankan fungsi yudisial. Selama menjalankan yudisial ada proses hukum yang dilakukan oleh KPK,” kata Todung.
Todung mengatakan, keberadaan institusi negara penunjang karena check and balance yang dituntut publik. Beberapa negara yang melakukan peralihan dari otoriter ke demokratis juga punya lembaga tersebut. Di Indonesia sendiri bukan hanya KPK, tetapi ada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan beberapa lembaga lain.
Pernyataan Todung didukung Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz. Menurutnya penjelasan KPK yang bukan bagian dari eksekutif sudah tertuang dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal itu berbunyi: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
“Kok tiba-tiba ada pernyataan bahwa KPK adalah cabang dari eksekutif, ini betolak belakang dengan Undang-undang KPK,” kata Donal.
KPK bukan bagian eksekutif menurutnya juga terbukti dari pemilihan pimpinan. Presiden sebagai kepala eksekutif tidak bisa memilih pimpinan KPK secara langsung seperti memilih pemimpin Polri, TNI dan Jaksa Agung.
Lebih lanjut, Todung menjelaskan pansus hak angket bisa menghambat proses hukum yang dilakukan oleh KPK. Penyidik tidak akan merasa nyaman menyelidiki saat lembaga diselidiki lembaga lain.
“Apalagi anggaran ada pada DPR. Kalau DPR berhentikan anggaran seperti yang diancam akan mengganggu opersasi KPK,” kata Todung.
Sebelumnya, Yusril mengatakan bahwa KPK merupakan lembaga eksekutif yang bisa diselidiki oleh pansus angket DPR. Hal itu sejalan dengan Pasal 203, 204, dan 205 dalam Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Yusril kemudian menegaskan, kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan adalah sebagai organ eksekutif, sehingga cakupan tugasnya meliputi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi.
Namun menurutnya KPK tidak masuk kategori badan yudikatif lantaran bukan lembaga peradilan yang berugas memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. KPK juga bukan lembaga legislatif karena tidak memproduksi perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.(Cnn).