Matanurani, Jakarta – Ketegangan geopolitik baru-baru ini membuka perdebatan tentang risiko stagflasi. Morgan Stanley dalam risetnya menyebut, inflasi meningkat tanpa terkendali, dan tingkat kebijakan menjadi normal tanpa mengganggu siklus pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi kemungkinan lebih rendah dan inflasi lebih tinggi dari yang diduga sebelumnya.
Defisit fiskal kemungkinan juga akan melebar untuk mengurangi tekanan seperti stagflasi. Saat ketegangan geopolitik menaikkan harga komoditas, setiap kenaikan 10% pada harga pangan dan energi meningkatkan beban pengeluaran sekitar 2% dari PDB.
“Hal ini tidak signifikan. Kebijakan fiskal harus membantu mengurangi risiko makro. Dengan rasio utang publik terhadap PDB sebagian besar 33%-66%, ada ruang fiskal dan langkah-langkah telah diambil,” ungkap Deyi Tan, Ekonom Morgan Stanley dalam riset “Go for Stagflation Hedge and Domestic Demand Buffer”, dikutip Senin (14/3).
Khusus untuk Indonesia, Tan mengkhawatirkan apakah subsidi di Indonesia dapat menyebabkan tekanan fiskal dan kenaikan harga yang tak terhindarkan, terlebih jika kenaikan harga komoditas tetap tajam/berkepanjangan, yang dapat menyebabkan beban subsidi meningkat secara non-linier dari kegiatan arbitrase, tekanan fiskal kemungkinan masih dapat dikelola sekarang karena pendapatan komoditas juga meningkat kuat
Akan tetapi, berbeda dengan krisis energi di tahun 1970-an/1980-an, pengetatan kebijakan moneter yang dapat mengganggu siklus pertumbuhan tampaknya tidak mungkin terjadi karena tekanan inflasi akibat kenaikan permintaan atawa demand pull inflation terlihat dapat dikendalikan. Bagi mereka yang berfokus pada stabilitas mata uang (BI), cadangan yang lebih tinggi dan perbedaan suku bunga riil, ditambah nilai perdagangan yang positif, juga membeli perlindungan terhadap kenaikan yang mengganggu.
Ketika tensi geopolitik bertahan, negara-negara yang memiliki pelindung nilai stagflasi dan penyangga permintaan domestik lebih baik untuk ditempatkan:
“Kami melihat dua kelompok. Grup #1 yaitu, Indonesia, Malaysia, dan Filipina menawarkan pelindung nilai stagflasi dan/atau penyangga permintaan domestik. Indonesia dan Malaysia adalah dua pengekspor komoditas bersih,” jelas Tan.
Sementara itu, Filipina terkena dampak negatif dari guncangan perdagangan tetapi relatif terisolasi dari permintaan global yang lebih lambat/kondisi keuangan yang lebih ketat. Grup #2 yaitu, Singapura, Thailand, Taiwan, dan Korea lebih rentan terhadap hal negatif perdagangan dari harga komoditas yang lebih tinggi dan tumpahan dari hubungan perdagangan/keuangan.
Dalam fase ekspansi kondisi mapan ini, MS melihat pertumbuhan meluas dari ekspor ke permintaan domestik, inflasi naik tanpa lepas kendali, dan normalisasi tingkat kebijakan tanpa mengganggu siklus pertumbuhan.(Cnb).