Matanurani, Jakarta – Berbagai kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi masalah minyak goreng yang masih mahal bahkan ketersediaan di lapangan kini cenderung langka. Terkait kelangkaan minyak goreng di lapangan Ombudsman menduga dikarenakan beberapa hal.
Pertama, dari data yang disampaikan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam waktu 3 minggu telah digelontorkan sebanyak 415.000 ton dari hasil kebijakan DMO minyak goreng.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, jumlah tersebut seharusnya mencukupi untuk kebutuhan sebulan. Namun di lapangan ketersediaan minyak goreng justru masih langka selain harganya yang masih mahal.
Dugaan pertama, bisa aja terjadi perbedaan data DMO yang dilaporkan dengan realisasinya. Jadi semua bisa aja based on paper dilaporkan tapi realisasi bisa beda. Realisasi DMO hanya akan terkonfirmasi dengan data yang mestinya dikumpulkan dari distributor, kata Yeka dalam Konferensi Pers Ombudsman RI, Selasa (15/3).
Kedua, Yeka menjelaskan, pelaksanaan DMO minyak goreng yang tanpa diikuti memasangkan antara eksportir CPO dengan produsen minyak goreng. Ketika pelaksanaan DMO pemerintah melepaskan pelaku usaha baik produsen CPO untuk mencari partner masing-masing.
Mestinya dipasangkan pemerintah, karena tidak semua produsen minyak goreng mendapatkan CPO dari DMO dengan harga DPO, imbuhnya.
Pasalnya tidak semua produsen minyak goreng berorientasi ekspor. Maka jika produsen minyak goreng tersebut tidak dipasangkan akan tetap mendapatkan harga CPO yang mahal sesuai dengan harga pasar. Maka menyebabkan produsen terpaksa menurunkan produksi karena menghindari kerugian.
Ketiga, masih adanya panic buying di beberapa tempat meski eskalasinya masih kecil. Kemudian rumah tangga dan pelaku UMKM melakukan peningkatan stok minyak goreng atas respons belum adanya jaminan ketersediaan minyak goreng terlebih jelang puasa dan lebaran.
Dugaan selanjutnya timbulnya spekulan yang memanfaatkan kondisi disparitas harga yang sangat besar antara HET dengan harga di pasar tradisional yang sulit diintervensi. Yeka menyebut, lantaran pelaku banyak maka harga minyak goreng di pasar tradisional sulit diintervensi dibandingkan dengan di ritel modern.
Selanjutnya adanya dugaan, gagalnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan.
Fungsi pengawasan tidak akan berhasil diterapkan ketika disparitas harga terjadi dengan gap sangat besar, ini seperti saat gap pupuk bersubsidi dengan pupuk untuk tanaman pangan dengan untuk sektor perkebunan diawasi sedemikian rupa tetap bocor karena disparitas tinggi, jelasnya.
Maka Ombudsman melihat akar permasalahan terjadinya kelangkaan minyak goreng ini adalah karena tingginya disparitas antara harga DPO, HET dan harga pasar. Disparitas harga berkisar Rp 8.000 sampai Rp 9.000. Jadi bisa dibayangkan disparitas yang tinggi ini memunculkan hal-hal yang menjadi penyebab, tadi disampaikan, pungkasnya.(Ktn).