SAAT Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) di Pusdiklat Kemendikbud, Sawangan, Jakarta, Selasa (6/2) kemarin, Presiden Joko Widodo menekankan bahwa kekayaan alam yang dimiliki suatu bangsa termasuk Indonesia tidak menjamin kesejahteraan dan kesuksesan sebuah bangsa.
Bahkan Presiden mengingatkan inti memajukan sebuah negara adalah sumber daya manusia yang menjadi tanggung jawab bersama bangsa.
Pernyataan Presiden tersebut tentu saja sangat valid dan masuk akal. Karena banyak negara yang kaya sumber daya alamnya namun masih banyak juga warganya miskin dan menganggur dan tidak serta merta warganya sejahtera.
Indonesia juga termasuk demikian. Kenapa? Karena yang dijual langsung komoditas hasil alam tanpa diolah dahulu dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sementara produk lainnya diimpor.
Supaya mensejahterakan bagaimana? Tentu kita perlu paham apa yang kita butuhkan. Kita butuh industrialisasi untuk mengolah komoditas alam tersebut menjadi produk bernilai tambah tinggi. Dengan cara apa? Tentu saja dengan Iptek atau knowledge and technology basis atau ilmu pengetahuan berbasis teknologi.
Itulah sebabnya pendidikan dan vokasi sangat penting. Teknologi juga berperan penting dan perlu difokuskan untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi melalui industrialisasi atau persisnya ‘hilirisasi’ terhadap produk yang dihasilkan alam kita. Inilah yang dinamakan SDA dan SDM based economy. Dan itulah ekonomi berbasis kerakyatan.
Tetapi produk alam yang diolah tersebut harus menjadi produk yang laku di marketplace.
Sedangkan Iptek adalah ‘tools’ untuk merubah produksi dari hasil alam (dalam soal Indonesia yang kaya alamnya) menjadi produk sesuai kebutuhan pasar.
Saya meyakini bahwa pemberian alam itu harus disyukuri dan perlu diolah menjadi sumber kesejahteraan umat. Jika sebaliknya ditinggalkan dan loncat atau main salto ke sumber pertumbuhan ekonomi lainnya, berarti kita tidak pandai bersyukur.
Karena itu Indonesia tidak mungkin menjadi negara maju dengan pertumbuhan di atas 7% jika industri yang dikembangkan tidak melibatkan warga yang jumlahnya melimpah, dan yang menggantungkan hidupnya pada kekayaan alam melimpah.
We should not even try to think that way. It is not what we mean by ‘out of the box’.
(Kita seharusnya tidak berpikir seperti itu. Bukan itu yang kita maksud namun cara berpikir kita harus berbeda dari lainnya – red).
Oleh karena itu, ayo fokuskan kebijakan negara dan pemerintah pada industrialisasi atau hilirisasi atas produk-produk hasil alam kita.
Jangan lagi ekspor kita tergantung pada produk-produk mentah atau komoditas. Lakukan hilirisasi dulu dan hasilkan nilai tambah maksimal dengan menerapkan Iptek dan teknologi digital.
After all, you can name it knowledge base economy or digital economy.
(Diatas semua itu, Anda bisa menamainya ekonomi basis pengetahuan atau ekonomi digital-red)..
Yang lebih penting lainnya adalah pohon industrinya harus dipastikan “berakar” pada kekayaan sumberdaya yang ada dan melimpah di Indonesia.
Dengan demikian menurut hemat saya itulah prinsip -prinsip atau elemen penting dalam ekonomi Pancasila atau ekonomi Konstitusi atau ekonomi gotong royong atau ekonomi kerakyatan, or whatever you name it. (atau apapun itu-red). Dan itu pulalah ekonomi yang mensejahterakan warga Indonesia.
Diluar itu wallahualam.
(Penulis adalah Ketua Pokja Pangan dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN).