Oleh: Benny Pasaribu, PhD.
DALAM diskusi group WA bersama Dewan Pakar HKTI hari ini, Jumat 20 Agustus 2021, saya secara spontan menyambut baik pernyataan Prof Agus Pakpahan di Youtube tentang Globalisme, Nasionalisme dan Patriotisme, yang diposting di grup WA tersebut.
Selanjutnya perlu saya tambahkan bahwa Founding Fathers negara ini telah berjasa untuk kemerdekaan Indonesia. Tetapi generasi penerusnya kurang mampu meletakkan fondasi dan tangga untuk kita naik kelas menjadi negara maju.
Haluannya ada di dalam Pancasila tapi gagal menjadikannya sebagai kompas di tataran praksisnya. Ada kelompok pemahaman Indonesia bisa loncat atau lari kencang menjadi negara maju tanpa melibatkan rakyat banyak yang tersebar di ratusan pulau.
Menurut saya mustahil bisa. Mungkin pemahaman seperti itu bisa untuk Singapore, Hongkong, Taiwan, Malaysia, Thailand, yang tidak banyak pulaunya.
Bagi saya, Indonesia ‘has limited ways and the best route to become the rich country in the world is to let and promote the people work at maximum potential, local/ indigeous core products, at highest productivity’. Mengapa?
Saya pelajari fakta banyak orang yang bisa menghasilkan produk, tapi sedikit produksi yang efesien. Akibatnya makin sedikit orang yang mampu membawa produknya ke pasar, kalaupun lolos mereka tidak mampu bersaing.
Contohnya petani, nelayan, UMKM, koperasi, dan sebagainya. Bahkan banyak pakar terjebak dalam situasi seperti ini. Fakta ini selalu berulang. Sekarang muncul misalnya petani porang. Fakta di atas akan terulang lagi. Belum lagi proyek food estate.
Pemerintah ada dimana dalam mengatasi fakta dan kondisi seperti ini? Apa yang dilakukan Kementan, Kemendag, Kemenkop & UKM, Kemenperin? Apa yg perlu dilakukan oleh organisasi profesi dan masyarakat seperti HKTI?
Mungkin Dewan Pakar dan BPO HKTI perlu mendiskusikan solusinya.
MERDEKA!
Penulis Dosen Ekonomi Universitas Trilogi Jakarta, Anggota Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) 2019