Home Opini Lima Lukisan tentang Mulyono

Lima Lukisan tentang Mulyono

0
SHARE

Oleh : Puteri Soraya Mansur

NEGERI sedang gonjang-ganjing lantaran pembredelan pertama pameran lukisan di pemerintahan baru telah berlangsung. Kelima lukisan itu tentang Mulyono. Seorang pemimpin negeri yang baru lengser. Aku penasaran. Lukisan seperti apakah itu?

Aku cari di media sosial. Oh, lukisan seperti itu. Memang tentang Mulyono tapi aku tak begitu paham. Aku cuma sarjana pertanian yang memilih berkebun cabai daripada jadi abdi negara.

Tapi lukisannya bagus, kelihatan nyata sekali gambar Mulyono bahkan sampai bentuk bokongnnya. Bukankah seharusnya tak semontok itu ya? Aku melihat dari perawakan Mulyono yang kurus. Atau memang sebenarnya montok tapi karena dijilat-jilat terus jadi lemaknya berkurang? Atau memang tak nampak saja karena celananya gombrong? Tak pernah seketat celana-celana aparat berbaju cokelat dan hijau yang juga ada di lukisan lainnya.

Bolehkah aku yang seorang sarjana pertanian ini menilai lima lukisan itu? Bolehlah ya karena negeri ini berideologi demokrasi kan?

Ini tak sepenuhnya penilaianku karena aku juga membaca tulisan-tulisan nitizen di media sosial yang kadang-kadang penuh analisis dan tak aku pahami tapi banyak juga yang asal tulis tapi terasa menusuk ulu hati. Ulu hatiku sebagai seorang sarjana pertanian yang punya beberapa petak kebun cabai di lereng gunung Selamet.

Seperti: “Perhatikan di kelompok orang-orang merah itu, ada pasukan petani yang bawa palu dan arit.”

“Wah, petani. Itu aku,” batinku saat membaca komen nitizen itu. Makdeg!

Petani kapan? Apakah petani era Mulyono sebagai pemimpin ada yang bawa palu dan arit untuk melawan pemerintah? Bukankan itu petani dulu di era 65? Jangan-jangan yang dimaksud adalah isu-isu peristiwa ’65 yang pernah diembuskan saat Mulyono hendak menjadi pemimpin di periode pertama. Isu itu berhasil ditumbangkan oleh relawannya, sehingga lawan politiknya tak mampu menumbangkannya. Eh, sekarang lawan politiknya jadi penerus Mulyono. Asu!

Loh kok aku memaki? Aku sempat terkena arus itu soalnya, menjadi relawan Mulyono yang meyakinkan para petani lainnya bahwa eranya petani akan makmur. Ternyata bukan makmur tapi hancur. Harga cabai naik turun seperti harga saham. Aku sampai pernah membagi-bagikan cabai panenanku ke tetangga satu desa daripada membusuk tak karuan. Temanku sesama petani malah ada yang membuangnya di tempat sampah. Yang kreatif juga ada, membuatnya sambal dan kembali dijual tapi itu hanya seorang saja karena kebetulan juga pengusaha sambal kelas rumahan.

Kenapa petani dikaitkan dengan lima lukisan itu? Oh, ternyata pameran gagal itu bertema “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan”. Soal pangan adalah soal petani. Ya, kami yang menyediakan bahan pangan untuk negeri ini tetapi sering kalah dengan tengkulak-tengkulak yang sebagian besar berperut gendut dan jadi penentu harga pasar. Katanya sudah era globalisasi jadi pemilik modal semakin berkuasa. Produsen seperti petani yang seharusnya menjadi pemilik keuntungan terbesar, sehingga kedaulatan pangan memang sepenuhnya ada di tangan kami bukan di tangan tengkulak apalagi penguasa.

Rupanya, kata pemilik lukisan tentang Mulyono itu, omong kosong kalau membicarakan kedaulatan pangan tanpa melibatkan penguasa. Jadi, kelima lukisan itu merupakan satu rangkaian dengan dua puluh lima lukisan lainnya.

Kata kuratornya, dua lukisan dari kelima lukisan itu terlalu vulgar. Yang mana? Yang menjilat pantatkah? Ah, aku banyak melihat lukisan lebih vulgar dari itu bahkan melukiskan kemaluan manusia, baik perempuan maupun laki-laki. Lukisan pornografi kuno Jepang bernama Sunga banyak beredar di intenet. Itu liar sekali menggambarkan bentuk kemaluan manusia. Kadang-kadang lebih besar dari tubuh manusianya. Tidak proposional sama sekali. Justru lukisan tubuh bugil Mulyono dari belakang itu lebih proporsional. Bagiku, itu tidaklah vulgar.

Satu lukisan lagi yang mana? Mungkin lukisan Mulyono dengan pakaian raja Jawa yang sedang menginjak dua orang berbaju merah dan putih. Di belakang Mulyono ada aparat baju hijau dan cokelat. Mulyono, konon kabarnya memang mengarahkan kedua aparat itu untuk memenangkan pasangan pemimpin sekarang yang wakilnya adalah anaknya. Setelah dia mengangkangi hukum dengan menempatkan kerabatnya untuk mengubah peraturan usia calon presiden dan wakil presiden. Segala cara telah dilakukan oleh Mulyono dan tetap ada yang membelanya. Aku dulu juga membelanya. Sekarang, cih, tak sudi!

Lukisan itu menurutku juga tak vulgar, hanya sembrono. Bisa-bisanya pelukis gambarkan mata satu di topi kebesaran Mulyono. Itu simbol Dajjal. Uedan!

Harusnya ada satu gambar Mulyono yang menggambarkan seperti malaikat kemudian berubah jadi Dajjal. Sayangnya tak ada. Itu lebih ciamik lagi menurutku. Sekali lagi menurut seorang sarjana pertanian yang menanam cabai di lereng Gunung Slamet. Seorang awam tentang lukisan tapi tertarik menilai lukisan karena bawa-bawa petani.

Simbol Dajjal juga ada di lukisan Mulyono yang berjalan beriringan dengan banteng merah. Ah, si banteng yang saat ini merasa bersalah dan meminta maaf bahwa dirinyalah yang membawa Mulyono dalam kekuasaan dan menjadi seperti sekarang ini. Apa lacur, nasi sudah jadi bubur. Buat apa meminta maaf? Bukankah selama sepuluh tahun perut bantengmu itu juga kenyang? Kalian saja yang sudah tidak sejalan lagi jadinya merasa bersalah. Taik banteng!

Lukisan keempat, kata nitizen memperlihatkan dengan jelas petani sedang menyuapi pengusaha. Aku pikir Mulyono yang disuapin tapi Mulyono penampilannya tak pernah menggunakan dasi, hanya baju putih dan celana hitam. Dasinya juga berwarna merah. Nuansa merah memang sangat kental di lukisan keempat ini. Mungkin lantaran si banteng. Tapi, jika diperhatikan dengan saksama, bukan banteng yang menjadi latar belakang petani dan pengusaha itu, melainkan serigala. Aku benar-benar tidak tahu maksud pelukisnya. Tak berani sok tahu juga karena aku hanyalah seorang sarjana pertanian yang awam soal lukisan. Aku menilai secara kasar ini saja sudah sok tahu apalagi menilai lebih dari itu. Serampangan!

Lukisan terakhir memperlihatkan seorang bayi Mulyono menyangga singgasana yang di atasnya terdapat satu burung Garuda dan burung-burung putih lainnya. Burung merpati kah itu? Simbol apa?

Di bawah bayi Mulyono terdapat ombak besar. Mungkin itulah tantangan yang harus dihadapi Mulyono ketika memindahkan ibu kota negeri di pulau seberang. Tak ada petani di sana. Ada tiga lukisan dari lima lukisan yang kena sensor sang kurator tak ada petani. Namun, semuanya terdapat Muyono kecuali lukisan petani dan pengusaha. Aku menggambarkannya seperti itu supaya mudah karena aku tak tahu satu per satu judul kelima lukisan itu.

Ah, Mulyono. Kamu sudah lengser saja masih jadi bahan gunjingan para intelektual dan netizen di negeri ini. Aku termasuk kelompok nitizen itu karena hanya seorang sarjana pertanian yang menanam cabai di kaki Gunung Slamet.

D iantara berita dan komentar netizen, terselip kabar-kabar tentang kenaikan pajak 12%. Dengungan soal kabar ini sama besarnya dengan dengungan kabar kelima lukisan tentang Mulyono. Itu mengingatkanku pada harga pupuk di tahun depan yang pastinya akan naik. Petani sepertiku tiadalah punya daya meski aku seorang sarjana.

Ada satu kabar yang menarik buatku namun tak sebesar dengungan kedua kabar lukisan dan pajak ialah kabar bahwa koruptor akan diberi pengampunan oleh penguasa saat ini apabila mengembalikan uang yang dikorupsi secara diam-diam. Pernyataan itu disampaikan di depan mahasiswa negeri yang ada di Kairo. Para intelektual itu otaknya pada ke mana sampai memberi tepuk tangan sang pemimpin atas pernyataannya. Bajingan semua!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here