Home Opini Ironi di Negeri Agraris

Ironi di Negeri Agraris

0
SHARE
Ilustrasi Petani

Oleh : Muhammad Nalar  Al Khair, Peneliti Pangan, Desa dan UMKM Sigmaphi Research

Indonesia yang sering disebut sebagai negeri agraris justru menghadapi kenyataan pahit akan kondisi ketahanan pangannya. Lonjakan impor pangan beberapa waktu terakhir menjadi bukti nyata akan hal ini. Seperti komoditas gula yang impornya meningkat 73% dari 2,9 juta ton di tahun 2014 menjadi 5 juta ton di tahun 2023. Begitu pula kedelai, yang dari 2 juta ton meningkat menjadi 2,3 juta ton pada periode yang sama atau meningkat 16%. Bahkan, impor beras periode Januari hingga September 2024 telah mencapai 3,2 juta ton, dan angka ini akan menjadi rekor tertinggi impor beras sepanjang sejarah. Aneh bin ajaib, ketika tahun 2023, impor beras mencapai 3 juta ton akibat El Niño, tetapi pasca-El Niño di tahun 2024, impornya justru meningkat.

Kondisi ini diperkuat dengan skor Global Food Security Index (GFSI) Indonesia yang berada di peringkat ke-69 dari 113 negara dengan skor 60,2 pada tahun 2023. Angka ini jauh dari target yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2020–2024, yang mengharapkan skor mencapai 95,2. Dengan sisa waktu yang singkat, dapat dipastikan target tersebut tidak akan tercapai.

Belum selesai di situ, menurut laporan Global Hunger Index yang dirilis oleh Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia termasuk dalam tiga besar negara dengan kelaparan tertinggi di ASEAN dengan skor 16,9. Indeks ini menandakan adanya masalah mendasar dalam sektor pangan di negeri ini. Bagi negara dengan potensi agraris yang besar seperti Indonesia, kenyataan bahwa kelaparan masih menjadi masalah akut adalah sebuah ironi yang mencerminkan kegagalan kebijakan pangan selama bertahun-tahun.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: di mana letak kesalahan kebijakan pangan kita? Mengapa negara agraris seperti Indonesia terus terjebak dalam siklus impor yang tak berkesudahan? Kebijakan pemerintah dalam beberapa dekade terakhir tampaknya lebih fokus pada proyek infrastruktur dan pengembangan kawasan industri, sementara sektor pertanian dibiarkan tertinggal. Ini menjadi ironi besar di negeri yang seharusnya mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam urusan pangan.

Masalahnya, buruknya tata kelola sektor pertanian turut berkontribusi pada masalah ini. Petani Indonesia masih berjuang dengan masalah klasik seperti akses terhadap modal, teknologi, dan pasar. Yang paling utama, usaha di sektor ini tidak menguntungkan. Sementara itu, lahan pertanian semakin berkurang karena alih fungsi lahan untuk kepentingan pembangunan. Produktivitas pertanian kita tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk, yang pada gilirannya memicu ketergantungan pada impor pangan.

Di sisi lain, ancaman cuaca ekstrem juga tidak bisa diabaikan. Menurut Global Risk Report 2024, cuaca ekstrem merupakan risiko tertinggi yang dihadapi dunia ke depan. Dampak perubahan iklim ini secara langsung akan mempengaruhi produktivitas pertanian, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tanpa mitigasi yang tepat, ancaman cuaca ekstrem dapat memperburuk krisis pangan yang sudah kita hadapi.

Presiden Prabowo Subianto, yang juga pernah menjabat sebagai ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pada 2004 silam, harus menjadikan isu ini sebagai prioritas utama. Tidak ada waktu lagi untuk menunda pembenahan sektor pangan. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pertanian yang selama ini dijalankan dan mencari solusi untuk mengatasi masalah ketergantungan impor. Reformasi agraria dan revitalisasi sektor pertanian menjadi hal mutlak yang harus dilakukan.

Pemerintah juga perlu mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk riset dan pengembangan (R&D) sektor pertanian. Bibit yang tahan akan perubahan cuaca ekstrem merupakan salah satu hal penting untuk dihasilkan. Dengan begitu, diharapkan produksi pangan domestik meningkat dan mampu memenuhi seluruh kebutuhan. Tidak lupa, keberlanjutan dari sektor pertanian ini, khususnya untuk tanaman pangan, harus dipastikan.

Selain itu, program pelatihan bagi petani juga harus ditingkatkan agar mereka mampu beradaptasi dengan perkembangan dan menerapkannya dalam kegiatan pertanian sehari-hari. Karena bisa saja bibit baru yang dihasilkan dari investasi di bidang R&D memiliki perlakuan yang berbeda.

Pemerintahan Prabowo ke depan juga perlu menerbitkan regulasi yang jelas terkait dengan alih fungsi lahan pertanian. Lahan produktif harus dilindungi dari ancaman konversi menjadi kawasan industri atau perumahan. Pemerintah juga harus memberikan insentif kepada para petani agar mereka termotivasi untuk tetap menanam tanaman pangan strategis seperti padi, jagung, kedelai, tebu, dan lainnya. Hal ini penting karena sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, namun di sisi lain juga memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak.

Jangan berharap sektor ini akan meningkat produktivitasnya jika tidak ada insentif yang jelas bagi petani. Terbukti bahwa rata-rata petani di Indonesia saat ini berumur 40 tahun ke atas. Sulit sekali mengajak anak muda bekerja di sektor ini, justru karena mereka bersikap rasional (tidak menguntungkan).

Faktanya, Indonesia masih berkutat pada isu ketahanan pangan. Narasi kemandirian dan kedaulatan pangan tentunya masih jauh panggang dari api melihat realitas yang ada. Sehingga memastikan petani sejahtera dan untung menjadi salah satu kunci utama demi meningkatkan produktivitas pangan Indonesia. Tentunya juga harus didukung oleh kebijakan lainnya dari pemerintah. Jika tidak, maka impor pangan akan menjadi kebiasaan yang tidak akan pernah bisa diubah.

Ketergantungan pada impor pangan bukan hanya mengancam stabilitas ekonomi, tetapi juga berpotensi melemahkan posisi tawar Indonesia di kancah internasional. Oleh karena itu, upaya untuk mencapai kemandirian pangan harus menjadi agenda nasional yang mendapat dukungan penuh dari semua pihak.

Masa depan Indonesia sebagai negara agraris yang berdaulat di bidang pangan tergantung pada bagaimana pemerintah menangani masalah ini. Dengan reformasi kebijakan yang tepat, ketahanan pangan yang kuat bukanlah hal yang mustahil dicapai. Namun, jika langkah-langkah tersebut tidak segera diambil, kita hanya akan semakin tenggelam dalam ironi di negeri agraris yang terus bergantung pada impor pangan dari luar negeri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here