Matanurani, Jakarta — Pemerintah terus mendorong tren digitalisasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk lebih berkembang dan meluas guna mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan sepanjang pandemi, jumlah UMKM yang terdigitalisasi tercatat dua kali lipat dibandingkan sebelum pandemi, atau mencapai sekitar 16,4 juta UMKM.
“Pemerintah berkolaborasi dengan berbagai platform digital untuk membantu UMKM mendapat manfaat optimal melalui digitalisasi,” ujarnya melalui keterangan resmi.
Johnny meyakini, ekonomi digital akan terus tumbuh dan menjadi tumpuan dalam perdagangan atau ekonomi global.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Fiki Satari mengatakan, pandemi COVID-19 telah memberikan tantangan bagi UMKM dalam skala yang tidak pernah dialami sebelumnya.
Namun, kata dia, digitalisasi terbukti menjadi faktor kunci UMKM bertahan dan tumbuh di masa pandemi.
Fiki mengutip data World Bank yang menyebutkan 80% UMKM yang terhubung ke dalam ekosistem digital memiliki daya tahan lebih baik.
Adapun, menurut LPEM FEB UI dan Tokopedia, 2020, digitalisasi membuat 7 dari 10 pelaku usaha mengalami peningkatan volume penjualan. Berdasarkan data tersebut, pertumbuhan nilai transaksi produk kesehatan mencapai 154 persen, Makanan Minuman 106 persen, dan Elektronik mencapai 24 persen.
“Awal COVID-19 sudah ada 8 juta UMKM terdigitalisasi, kemudian sejak dicanangkan BBI (Bangga Buatan Indonesia) UMKM terdigitalisasi menjadi menjadi 16,4 juta UMKM hingga Oktober 2021,” ujar Fiki.
Fiki menjelaskan, hampir setengah dari usaha yang menggunakan platform daring menggunakan media sosial seperti WhatsApp, Instagram, dan TikTok untuk memasarkan produknya.
Sementara itu, baru 15 persen yang memanfaatkan platform marketplace e-commerce. Dalam hal penggunaan platform daring, tantangan yang paling umum dihadapi UMKM adalah menarik pelanggan tampaknya (47,4 persen), dan kekurangan sumber daya manusia untuk mengurus manajemen toko daring (33,7 persen).
“Hanya satu dari lima UMKM yang telah menggunakan platform daring untuk memasarkan produknya dan tidak menemukan isu dalam penggunaan platform,” katanya.
Fiki menjelaskan, dari seluruh UMKM yang belum menggunakan platform daring, sekitar 43 persen di antaranya menyatakan enggan melakukan digitalisasi usahanya karena kesulitan memahami cara kerja platform daring. Selain itu, 26,6 persen dari UMKM juga melakukan digitalisasi karena menilai produk mereka tidak dapat dipasarkan secara daring.
Menurutnya, meski mendapat keuntungan dari penggunaan platform daring selama pandemi, hampir 40 persen UMKM melaporkan hanya mengalami peningkatan laba kurang dari 20 persen, dan hampir separuhnya tidak melihat adanya peningkatan.
“Kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh kompetisi yang ketat di antara UMKM pengguna platform daring dan mereka belum sepenuhnya memanfaatkan ekosistem digital secara utuh,” katanya.
Dia memaparkan, hasil diskusi kelompok terfokus bersama UNDP dan LPEM FEB-UI (2020), menunjukkan bahwa pada tahun sebelumnya UMKM ragu untuk bergabung ke dalam platform daring untuk menghindari kompetisi.
Namun, menurutnya bergabung dalam platform daring sebenarnya telah memberi keuntungan yang positif bagi kelanjutan usaha, karena mereka dapat bertahan lebih lama selama pandemi dibandingkan dengan usaha yang belum terdigitalisasi.
“Bagaimana UMKM berkelanjutan dalam ekosistem digital menjadi isu utama yang harus dihadapi kedepan,” katanya. (Cen).