Matanurani, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membeberkan para pelaku kejahatan pasar modal yang merugikan masyarakat.
Kepala Deputi Pengawasan Pasar Modal 1A OJK Luthfy Zain Fuady mengungkapkan terdapat empat lembaga yang kerap melakukan pelanggaran di pasar modal dengan berbagai modus. Empat lembaga tersebut yaitu perusahaan efek, manajer investasi, emiten dan profesi/lembaga penunjang.
Modus pelanggaran yang dilakukan perusahaan efek, seperti perdagangan semu yang menciptakan harga yang tidak sepenuhnya disebabkan karena adanya permintaan jual dan beli efek di pasar. Hal ini menimbulkan adanya manipulasi harga saham.
Banyak direksi perusahaan efek juga ikut terlibat padahal telah dilakukanfit and proper testsebelum menjabat. Hal ini berdampak pada perilaku dan pengendalian internal perusahaan efek yang tidak baik.
Bentuk kejahatan lainnya yang juga sering terjadi adalah aktivitas transaksi oleh pegawai yang dilakukan tanpa izin dan kegiatan arranger emisi efek yang dilakukan tanpa izin.
Selanjutnya, pelanggaran yang dilakukan oleh manajer investasi. Bentuknya mulai dari memberikan jaminan fixed returnpada reksa dana dan pemasaran reksa dana tanpa izin.
Manajer investasi, kata Luthfy, juga melakukan pelanggaran dalam bentuk komposisi dan valuasi efek yang dijadikan portofolio reksa dana. Lainnya seperti adanyacross trading,afiliasi dan benturan kepentingan yang dilakukan oleh manajer investasi.
“Tadi ada janjifixed returnsetiap hari 1% atau ada yang 7% di skema ilegal atau bodong, ternyata hal itu juga terjadi di skema legal, dalam hal ini reksa dana,” kata Luthfy dalam acara Capital Market Summit & Expo 2020 yang diselenggarakan secara virtual, Kamis (22/10).
Menurut Luthfy, praktik ini jelas-jelas melanggar aturan. Pasalnya dalam aturan disebutkan manajer investasi tak bisa memberikanfixed returnkarena portofolio investasi yang nilainya bergerak sehingga tidak mungkin keuntungannya tetap untuk satu waktu.
Selain itu, emiten juga kerap melakukan pelanggaran aturan pasar modal. Modusnya tidak memberikandisclosureyang sesuai dengan aturan seperti penyampaian keterbukaan informasi dan situs web resmi perusahaan.
“Salah saji laporan keuangan juga beberapa kali kita temukan. Ada yang sifatnya materil sekali. Mungkin dua tahun yang lalu ada kasus yang cukup besar, ada satu perbankan yang kemudian dalam laporan keuangannya itu dilakukan restatement diana selisih labanya itu jomplangnya luar biasa karena ada kesalah dalam penyajian laporan keuangan,” jelas dia.
“Ini sangat berpengaruh pada keputusan investasi karena labanya tadinya gede kemudian restatement jadi labanya jauh lebih kecil dari yang seharusnya. Jadi orang mengira dia membeli perusahaan bagus tapi ternyata dia membeli perusahaan yang kurang bagus.”
Selain itu, pelanggaran yang dilakukan profesi/lembaga penunjang biasanya dalam bentuk tidak memenuhi ketentuan OJK dan kode etik profesi yang berlaku. Selain itu, beberapa kali juga ditemukan adanya penandatanganan kontrak saat izinnya telah dicabut atau dibekukan.
Luthfy menyebutkan kerugian yang terjadi akibat adanya investasi ilegal alias investasi bodong dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mencapai Rp 92 triliun. Jumlah ini dinilai sangat besar dan belum termasuk kerugian yang disebabkan karena investasi oleh institusi legal.
Menurut Luthfy pelanggaran ini banyak dilakukan pelaku industri pasar modal karena adanya ruang kosong dalam aturan investasi dan kewenangan antarlembaga sehingga dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk membuat produk yang tidak memiliki karakter dalam hukum investasi tersebut.
“Jadi yang kita hadapi bukan hanya sosok yang ‘jahat’, tapi juga sosok yang paham regulasi dan paham bagaimana memanfaatkan celah regulasi tersebut,” (Cnb).