Matanurani, Jakarta – Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai kebijakan wajib asuransi pihak ketiga untuk kendaraan bermotor per Januari 2025, sangat ngawur. Wajar jika penolakannya semakin meluas.
“Salah satu alasan utama penolakan adalah ketidakmungkinan menggabungkan pembayaran pajak dan asuransi dalam satu skema,” papar Achmad Nur, di Jakarta, Sabtu (3/8).
Pajak kendaraan bermotor, kata dia, merupakan kewajiban masyarakat kepada negara untuk kontribusi dalam membiayai pembangunan infrastruktur dan layanan publik.
“Sedangkan asuransi adalah produk keuangan yang memberikan perlindungan terhadap risiko tertentu. Menggabungkan kedua kewajiban ini, menimbulkan kebingungan dan mengaburkan tujuan masing-masing,” terangnya.
Selain itu, lanjutnya, asuransi sebaiknya seharusnya bersifat opsional bagi pemilik kendaraan, bukan kewajiban. Setiap individu memiliki kondisi keuangan dan kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga memaksakan asuransi sebagai kewajiban dapat memberatkan sebagian masyarakat yang mungkin tidak membutuhkan atau tidak mampu membayar premi asuransi tersebut.
Di sisi lain, kata dia, penolakan muncul karena pemerintah belum memberikan penjelasan yang memadai tentang urgensi dan kategori kendaraan yang diwajibkan asuransi.
Ketidakjelasan ini menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian di kalangan pemilik kendaraan,” imbuhnya.
Premi asuransi yang diwajibkan akan menambah beban finansial bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang sudah berjuang untuk membayar pajak kendaraan tahunan.
“Dengan premi asuransi yang harus dibayar bersamaan dengan pajak kendaraan, biaya total yang harus dikeluarkan setiap tahun akan meningkat signifikan, yang bisa menjadi beban tambahan bagi pemilik kendaraan,” pungkasnya. (Ini).