Matanurani, Jakarta – Penduduk bumi terus bertambah. Hingga kini sudah melebihi 7 miliar jiwa. Penduduk Indonesia saja hampir 270 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan yang cukup besar. Dalam satu menit, di Indonesia lahir 3 bayi. Ini baru di Indonesia. Bagaimana jika digabung dengan negara lainnya di dunia.
Ketika manusia lahir, dibutuhkan makanan, pakaian dan lain-lain. Dimana semua kebutuhan itu diproduksi dengan caranya masing-masing. Belum lagi produksi perumahan dan mobil. Untuk produksi mobil saja, di dunia sekitar 80 juta unit setahun.
“Luar biasa tekanan terhadap lingkungan untuk menyediakan kebutuhan semua manusia. Muncul pertanyaan, mungkinkah berbisnis tanpa mengorbankan lingkungan, yang menjadi topik diskusi kita pada hari ini,” ungkap Kepala Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Trilogi, Dr Ir Mangasi Panjaitan, SE, ME, saat membuka diskusi virtual seri kedua yang digelar, Sabtu (28/8).
Adapun Webinar ekonomi nasional seri Ke-2 ini menghadirkan pembicara Christy Desta Pratama (Natural Resources Economist Prospera), Andi Moehammad Ichsan (Co-Founder of Octopus Indonesia) dan Mateus Pasaribu (Mahasiswa semester 3, Pembuat Aplikasi Pick) serta dipandu oleh Ayu Dwidyah Rini SPd, MPd, (Ketua Pelaksana dan Dosen Ekonomi Universitas Trilogi).
Christy Desta Pratama, dalam paparannya, menekankan pentingnya kebijakan-kebijakan ekonomi biru (ocean blue) di Indonesia, yang merupakan strategi ekonomi kelautan yang berkelanjutan.
“Perlu reformasi kebijakan investasi terkait sektor ekonomi biru (kelautan). Diantaranya, kedepan kita harus menyakinkan perikanan yang berkelanjutan. Tidak ada lagi destructive fishing, overfishing dan sebagainya,” kata dia.
Juga, lanjut Christy, mesti pintar mengelola aset sumber daya alam yang ada di pesisir, seperti mangrove, terumbu karang dan sebagainya. Pastikan kegiatan ekonomi yang ada di pesisir tidak memberikan tekanan berlebih tapi justru memberikan peluang untuk bertumbuh.
“Pun, sektor pariwisata itu penting. Sebab sektor ini dianggap bisa memberikan manfaat jasa dari lingkungan yang keuntungan secara ekonomis, tapi tidak merusak. Sarana pariwisata yang baik adalah jika semakin bagus, terawat dan lestari, sehingga semakin tinggi nilainya,” jelas dia.
“Meski begitu diakui betapa rumitnya pengelolaan sektor ekonomi biru di Indonesia. Karena banyak kali Kementerian terlibat, koordinasi antar sektor, antar menteri dan sebagainya,” imbuh Christy.
Hampir disetiap sudut kota-kota besar muncul persoalan sampah. Masalah ini rupanya menjadi perhatian beberapa generasi muda. Bukannya dihindari, justru soal sampah ini menjadi peluang bagi Andi Muhammad Ichsan, CEO dan Co-Founder Octopus Indonesia.
Andi bersama rekan-rekannya menggagas pembuatan Aplikasi Octopus pada awal tahun 2020. Aplikasi pengumpulan kemasan bekas pakai ini tercatat telah memiliki lebih 35 ribu pengguna dan 1600 mitra pengepul dan bank sampah tempat pelestari menyetorkan sampah yang diangkut. Aplikasi Octopus masih berada di tiga kota besar, Makassar, Bali dan Bandung.
“Aplikasi sederhana ini merupakan ekosistem yang coba mengkoneksikan antar stakeholder atau para pemangku kepentingan di dunia kemasan pasca konsumsi,” jelas dia.(Tri).