Matanurani, Jakarta – Realitas peradaban batak saat kini dinilai masih (maliali) atau yatim piatu secara kultural. Penyebabnya karena adanya kecenderungan menyempitkan pengertian kebudayaan hanya sebatas Dalihan Natolu dan adat istiadat.
“Adat istiadat itu dipersempit pula menjadi sebatas pesta-pesta Adat pernikahan atau kematian. Padahal Adat hanya bagian kecil dari elemen kebudayaan,” ungkap Nestor Rico Tambunan pada diskusi Batakologi bertajuk “Tantangan Kebudayaan Batak di Era Milenial”, di Jakarta, Sabtu (8/1).
Pemerhati peradaban Batak ini pun menyayangkan betapa orang batak di era kini masih seperti terasing, dan tidak tahu menahu tentang nilai-nilai kebudayaan batak.
“Kebudayaan Batak itu salah satu kebudayaan tua yang memiliki karakter kuat di Nusantara. Karena sangat khas, lengkap, rumit hukum dan adatnya. Dan ketersebaran orang Batak pun membuat warna kebudayaannya dikenal di semua tempat,” tambah Nestor.
Karena itu, secara umum orang Batak bangga dengan kebudayaannya. Namun, masih tetap ada juga perdebatan dan kegelisahan atas kebudayaan orang Batak itu sendiri dalam pergaulan sehari-hari.
“Misalnya, ada tendensi orang Batak sulit menyatukan pendapat, (Masipandok Hatana. Masibaen Nabinotona). Artinya, tidak ada lagi nilai dan pengetahuan yang diakui sebagai nilai bersama,” katanya.
Sebagai contoh menurut Nestor salah satunya adalah pelaksanan adat yang makin keluar dari nilai – nilai Habatahon (peradaban Batak).
Nestor mengakui ketersebaran orang batak dengan berbagai profesinya cenderung melihat kebudayaan Batak dari sudut pandang pengetahuan dan pemahamannya masing-masing.
Kemudian gerakan misionaris dan penjajahan kolonial Belanda dahulu kala berdampak pada hancurnya kehidupan sosial-budaya di Tano Batak.
“Perubahan nilai – nilai itu kemudian mempengaruhi peradaban Batak yang berorientasi pada materi, hasil, untung-rugi dan kepentingan pragmatis terhadap kehidupan, kebersamaan, kekerabatan, harmoni solidaritas, moral atau etika,” pungkasnya.
Sementara itu penggagas diskusi peradaban Batak, Benny Pasaribu mengungkapkan pentingnya upaya peningkatan pemahaman budaya Batak untuk diwariskan ke generasi berikutnya dengan menerbitkan buku-buku ajar praktis di sekolah, serta mendorong terselenggaranya Kongres Kebudayaan Batak yang bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dengan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan setiap daerah untuk mengembangkan budaya masyarakatnya.
“Untuk itu perlu kerjasama dengan semua pihak terutama Perguruan Tinggi terutama Universitas Sumatera Utara yang telah memiliki Program Studi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya,” jelas Benny.