Matanurani, Jakarta – Dalam tahapan pemilihan, baik itu Pemilu legislatif maupun Pilkda serentak, tidak jauh dari potensi konflik. Baik itu konflik politik uang sampai politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA ), yang menyebabkan proses Pemilu dan Pilkada serentak menjadi tidak berkualitas.
Oleh karena itu penting bagi semua elemen masyarakat yang ada untuk terlihat aktif dalam mengkampanyekan pemilu harus bebas konflik yang destruktif. Sehingga tujuan pemilu dalam suatu negara bisa terwujud.
Namun, Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, menilai, memang tidak mungkin pemilu itu bebas konflik 100 persen, sebab Pemilu atau Pilkada itu sendiri adalah persaingan mempengaruhi, menyakinkan, dan memperebutkan pemilih.
“Jadi ya gak mungkin pemilu tanpa konflikpersaingan, karena pemilu itu sendiri persaingan, tapi persaingan harus dilakukan dengan sehat,” ujar Hasyim Asy’ari, dalam acara bertema ‘Pemilu Bebas Konflik’, di Media Center Bawaslu, Jl. Thamrin 14, Jakarta Pusat, Senin (12/2) kemarin.
Hasyim mencontohkan, dalam pemilihan kepala daerah, yang mencalonkan diri itu banyak, tetapi yang menjadi kepala daerah hanya satu. Maka dari itu, pemilu adalah kepentingan politik untuk memperebutkan kekuasaan.
Namun itu semua diatur oleh undang-undang, sehingga konflik-konflik perebutan kekuasaan secara politik tersebut ditata secara kelembagaan dan hasilnya menjadi legal.
“Kalau jaman kerajaan dulu untuk merebut kekuasaan harus melalui perang, nah sekarang melalui pemilu konflik itu dilembagakan dan ditata sehingga dihindari ruang-ruang terjadinya kekerasan,” tuturnya.
Hasyim justru mendorong, agar penyelenggara pemilu dan pemerintah mendorong pemilu bebas kekerasan. Sebab, kekerasan ada beberapa level, semisal kekerasan verbal, ancaman psikologis, dan ancaman kekerasan pidana.
Oleh karena itu, instrumen hukum perlu ditingkatkan lagi, sehingga penegakkan hukum dalam penyelenggaraan pemilu dapat berjalan dengan baik. ”Gerakan Pemilu bebas konflik itu bagus, tapi lebih baik ada gerakan pemilu bebas kekerasan,” tutur Hasyim.
Senada dengan Hasyim, Anggota Bawaslu, M. Afifudin, mengatakan, memang tugas Bawaslu untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Karena itu pada akhir tahun 2017, Bawaslu meluncurkan indeks kerawanan pemilu (IKP) 2018.
“Kami sudah banyak melakukan antisipasi, diantaranya, selain meluncurkan IKP, Bawaslu bersama pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo dan Platform media sosial melakukan kerja sama untuk menindak konten-konten kampanye negatif,” katanya. Pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro mngingatkan, pentingnya Pemilu tanpa konflik dan sengketa.
Kita semua harus memahami demokrasi dalam pemilu. Ada beberapa elemen yang menjadi andalan demokrasi, yaitu demokrasi itu sendiri sebagai sistem, pemilu menterjemahkan sistemnya sebagai institusi demokrasi, pilkada, parpol dan masyarakat.
”Pemilu berkualitas adalah pemilu tanpa konflik,” tutur Siti Zuhro. Menurut Siti Zuhro, Pemilu kita harus naik kelas, sebab sudah melewati rentang waktu kepemiluan dimulai dari 1998- 2018 atau kurang lebih 20 tahun. Naik kelas itu berarti, semua tahapannya tidak boleh prosedural saja tetapi harus benar-benar menerapkan prinsip demokrasi berkualitas. (Koj).