Matanurani, Jakarta – Belum genap sepekan, kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran dibentuk, tapi sejumlah blunder telah dilakukan jajaran pembantu presiden.
Presiden Prabowo Subianto baru secara resmi melantik para menterinya yang tergabung dalam Kabinet Merah Putih pada Senin (21/10). 53 Orang dilantik menjadi menteri dan kepala badan setingkat menteri.
Belum seumur jagung para menteri tersebut dilantik, beberapa di antaranya telah melakukan blunder, baik secara lisan maupun tindakan yang cukup kontroversial di tengah masyarakat.
Dalam beberapa hari terakhir, publik dibuat gaduh dengan adanya pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menko Kumham) Yusril Ihza Mahendra terkait dengan Peristiwa 98.
Tidak hanya itu, pernyataan lain yang cukup menyita perhatian publik adalah dari Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai.
1. Yusril Sebut Peristiwa 98 tidak termasuk pelanggaran HAM
Menko Kumham Yusril Ihza Mahendra sempat melontarkan pernyataan kontroversial yang banyak mendapatkan respons dari publik.
Yusril mengklaim bahwa peristiwa 98 tidak termasuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Menurutnya, bahwa selama kurun dekade ke belakang Indonesia sudah tak lagi mengalami pelanggaran HAM berat.
Bahkan, termasuk peristiwa 98 yang dibantah langsung oleh mantan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB).
“Enggak [98 bukan pelanggaran HAM berat]. Dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta Senin (21/10).
Lebih lanjut, dia mengamini Indonesia masih mengalami beragam kejahatan yang termasuk sebagai pelanggaran HAM.
Meski begitu, dia menekankan tidak semua bisa masuk dalam kategori berat Yusril menjelaskan setiap kejahatan adalah pelanggaran HAM. Namun, tidak semua kejahatan termasuk pelanggaran HAM berat.
Mantan Ketua Umum PBB pun mengaku bahwa sempat menghadapi kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat saat menjabat menteri kehakiman dan HAM pada awal reformasi.
Berbekal berbagai pengalaman, termasuk kala menjalani sidang di Komisi HAM PBB di Jenewa selama tiga tahun dan membentuk pengadilan HAM, baik ad hoc maupun konvensional menurutnya Indonesia memang tak lagi menghadapi pelanggaran HAM berat.
“Jadi, sebenarnya kita tidak menghadapi persoalan pelanggaran HAM yang berat dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya.
Namun pernyataan ini langsung diklarifikasi sehari setelahnya. Yusril mengaku bahwa dirinya tidak menangkap dengan jelas soal pertanyaan awak media terkait peristiwa 98.
“Karena kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya apakah terkait masalah genocide ataukah ethnic cleansing? Kalau Memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu 1998,” ujarnya di Istana Kepresidenan, Selasa (22/10).
Dia menekankan, dirinya juga memahami soal isu-isu maupun kategori terkait pelanggaran HAM. Sebab, Yusril mengaku telah ikut merumuskan UU Pengadilan HAM.
“Tahun 98 itu saya ada di Jakarta, ada di sini, di tempat ini dan menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi dan pada awal-awal itu saya juga menjadi Menteri Kehakiman dan HAM. Jadi cukup mengerti tentang persoalan ini,” tambahnya.
2. Natalius Pigai Minta Tambah Anggaran
Menteri HAM Natalius Pigai menyatakan, pihaknya membutuhkan anggaran lebih dari Rp20 triliun untuk membangun HAM secara fisik maupun non fisik di Indonesia.
Pigai meyakini dengan anggaran lebih dari Rp20 triliun, dirinya bisa membangun HAM di Indonesia. Namun, sayangnya, kata Pigai, anggaran yang disediakan pemerintahan hanya sekitar Rp60 miliar saja per tahun.
“Saya maunya anggaran itu di atas Rp20 triliun tapi itu kan kalau negara itu ada kemampuan. Saya pekerja lama di HAM, kalau negara punya anggaran, saya mau segitu,” tuturnya.
Menurut Pigai, dirinya juga sudah bicara dengan pihak Ketua Bappenas dan Menteri Keuangan terkait anggaran Menteri HAM yang harus ditambah.
Menurutnya anggaran Kementerian HAM yang bertugas untuk membangun HAM baik secara fisik maupun non fisik masih dirasa kurang besar.
“Saya sudah bicara langsung dengan Ketua Bappenas dan saya sudah bicara Menteri Keuangan bahwa kami akan membangun pembangunan HAM, baik fisik dan nonfisik,” katanya.
Dalam klarifikasinya, Natalius Pigai mengatakan memiliki banyak mimpi untuk membangun HAM di Indonesia, sehingga anggaran yang dibutuhkan mencapai lebih dari Rp20 triliun.
Menurutnya, mimpi Pigai yang pertama jika anggaran tersebut disanggupi oleh Presiden Prabowo Subianto, Pigai ingin membangun Universitas HAM yang bertaraf internasional dan terkoneksi dengan pusat studi HAM di sejumlah negara di antaranya Eropa, Afrika, Timur Tengah, Asia dan Kawasan Amerika Serikat.
“Soal anggaran, pertama saya mau bangun Universitas HAM bertaraf Internasional terpadu dengan pusat studi HAM,” tuturnya di Jakarta, Rabu (23/10).
3. Undangan Haul Mendes Yandri
Beredarnya surat berkop Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor: 19/UMM.02.03/X/2024 membuat publik geger.
Dalam surat yang ditandatangani Yandri Susanto itu turut mengundang kepala desa, ketua RT, hingga kader posyandu di wilayah Kramatwatu, Serang, Banten, untuk hadir dalam peringatan haul ke-2 ibundanya, Hari Santri, dan juga tasyakuran.
Surat tersebut ditandatangani pada 21 Oktober 2024 atau bertepatan dengan hari dia dilantik sebagai menteri oleh Presiden Prabowo Subianto, sedangkan acara haul itu dilaksanakan pada Selasa, 22 Oktober 2024, di Pondok Pesantren BAI Mahdi Sholeh Ma’mun.
Beredarnya surat tersebut sontak mendapatkan banyak respons oleh masyarakat, terutama di jagat maya.
Menanggapi hal itu, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes-PDT) Yandri Susanto meminta maaf setelah ketahuan menggunakan kop surat kementerian untuk keperluan acara pribadi.
Dia menyebut ada kurang kontrol dan ketidakpahaman dari penggunakan surat resmi kementerian untuk acara pribadi.
“Ya [ada kesalahan] karena kan saya baru jadi menteri. Saya kan memang tiga periode di DPR ya, kan ya maklumlah baru belajar,” ujarnya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (23/10).
Lebih lanjut, dia pun mengamini bahwa belum mengetahui telah menyalahi aturan sebelum aksi yang dilakukannya viral di jagat media.
Mantan Wakil Ketua MPR RI itu menjelaskan bahwa sejak awal undangan tersebut terinisiasi melalui diskusi internal. Menurutnya, meskipun santri nasional telah mengetahui jadwal kegiatan yang ingin diselenggarakannya tetapi beberapa pihak menilai perlu ada kop surat kementerian dalam undangan tersebut.
“Ada diskusi waktu itu di internal kesekjenan perlu ada surat itu. Ya, saya karena sedang sibuk sedang banyak persiapan-persiapan pasca pelantikan ya saya memang mungkin kurang kontrol saja,” ucapnya.
Meski begitu, Anggota DPR-RI sejak 2012 mewakili daerah pemilihan Lampung I dan Banten II itu menekankan tidak ada uang negara yang digunakan dalam kegiatan pribadinya tersebut.
“Intinya dari acara itu tidak satu sen pun uang kemendes yang saya gunakan Demi Allah engga ada. Jadi murni persoalan administrasi saja dan insyaallah kedepan kami akan lebih hati-hati lagi dan tidak akan mengulangi lagi,” tuturnya.