Home News Antisipasi Krisis Pangan dan Resesi, Food Estate Perlu Didesain Ulang

Antisipasi Krisis Pangan dan Resesi, Food Estate Perlu Didesain Ulang

0
SHARE
Presiden Joko Widodo meninjau lahan yang akan dijadikan "Food Estate" atau lumbung pangan baru di Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Pemerintah menyiapkan lumbung pangan nasional untuk mengantisipasi krisis pangan dunia. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

Matanurani, Jakarta – Keberadaan food estate (lumbung pangan) yang tengah dibangun pemerintah di Kalimantan Tengah diharapkan bisa mengatasi persoalan pangan di dalam negeri. Namun, food estate itu perlu didesain ulang agar benar-benar bisa menjawab persoalan ketahanan pangan Indonesia.

Demikian benang merah pandangan pakar pengambangan wilayah perdesaan, Sugeng Budiharsono, pakar pengembangan organisasi masyarakat perdesaan, Mirwanto Manuwiyoto, pakar ekonomi Marcelino Pandin, pakar pertanahan Oon Kurniaputra, dan pakar transmigrasi Arsyad Nurdin. Lima pakar tersebut sepakat bahwa ketersediaan dan keterjangkauan pangan akan menjadi faktor kunci sukses ketahanan nasional di masa dan pasca pandemi Covid-19.

Seperti diketahui, pandemi Covid-19 telah berdampak besar pada berbagai pilar kehidupan di hampir seluruh dunia. Selain aspek kesehatan, masalah besar yang akan dihadapi akibat Covid-19 adalah resesi ekonomi dan kekurangan pangan.

IMF bahkan telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya dalam waktu dua bulan. Sebagai contoh, pada April 2020 lembaga itu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5%, tetapi pada Juni 2020 IMF memproyeksikan minus 0,3 %.

Skema pemulihan ekonomi nasional (PEN) rentan terhadap inflasi, termasuk di komoditas pangan. Pada April lalu, FAO sudah memperingatkan akan terjadi kekurangan pangan di berbagai belahan dunia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun merespon hal itu dengan memerintahkan para menterinya untuk mengelola pasokan pangan agar jangan sampai rakyat kekurangan pangan.

Pandemi Covid-19 juga berpengaruh terhadap produksi pangan dalam negeri. Di sisi lain, negara-negara yang selama ini menjadi sumber impor pangan Indonesia, khususnya beras, juga mengalami hal yang sama, sehingga negara-negara tersebut akan mementingkan kebutuhan pangan dalam negeri mereka sendiri.

Di sisi lain, impor pangan juga akan menguras devisa. Pada lima tahun terakhir, untuk mengimpor beras dan gandum saja negara telah merogoh devisa antara US$ 1,5 miliar sampai US$ 2,8 miliar. Untuk pemenuhan pasokan pangan dalam rangka ketahanan pangan pemerintah merencanakan membanguna food estate di Kalimantan Tengah yang terdiri atas lahan intensifikasi seluas 85.456 ha dan lahan ekstensifikasi seluas 79.142 ha, termasuk dari lahan gambut.

Pakar pengambangan wilayah perdesaan, Sugeng Budiharsono mengatakan, ide food estate sebenarnya bukan hal baru. Pada 1970-an, PT Patra Tani telah melakukan hal tersebut di Sumatera Selatan. Pada 1995 juga telah dilakukan proyek pengembangan lahan gambut satu juta hektare.

Lalu, kata dia, pada 2010 juga direncanakan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) seluas 1,2 juta hektare. Namun, ketiga proyek pengembangan food estate tersebut saat ini nyaris tak terdengar.

“Barangkali, sebelum melaksanakan proyek food estate lagi, perlu memahami pembelajaran yang baik dan jelek dari ketiga proyek food estate tersebut,” ujarnya.

Sugeng mengatakan, ada beberapa hal sebagai penentu keberhasilan food estate, apalagi yang bersifat modern, antara lain adalah hardware, orgwarebrainware, dan softwareHardware berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur dan teknologi budidaya, pengolahan, sampai rekayasa kesesuaian lahan dan iklim mikro.

Orgware berkaitan dengan rekayasa sosial buaya dan kelembagaan masyarakat yang bermitra dengan dunia usha dengan dukungan dari lembaga pemerintah. Sementara, software berkaitan dengan lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, pendidikan dan pelatihan, dan pengetahuan masyarakat.

Lalu, brainware berkaitan dengan sumber daya manusia untuk menghasilkan kreativitas dan inovasi. Kempat hal ini salin terkait dan akan meningkatkan daya saing dari produk-produk yang dihasilkan oileh food estate tersebut.

Pakar pengembangan organisasi masyarakat perdesaan, Mirwanto Manuwiyoto mengingatkan, untuk mempersiapkan orgware dan brainware memerlukan waktu lama dan ketekunan. Padahal, kata dia, masalah kekurangan pangan sudah menghadang di depan mata.

Pakar ekonomi Marcelino Pandin mengatakan, resesi dan ketahanan pangan berkelindan, karena dengan adanya resesi akan banyak PHK, perekonomian akan terpuruk, daya beli masayarakat menurun, dan harga-harga akan meningkat. Apabila pasokan kurang dan daya beli masayarakat menurun, maka akan memengaruhi stabilitas sosial ekonomi dan politik.

Pakar pertanahan Oon Kurniaputra menyebutkan, pemetaan kabupaten/kota rentan pangan yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, bahkan daerah rawan pangan (kategori 1, 2, dan 3), sebagian besar bukan berada di Kalimantan Tengah, melainkan di Papua dan Papua Barat.

Pakar transmigrasi Arsyad Nurdin menambahkan, jarak yang jauh dari kedua daerah tersebut (Kalimantan dan Papua, Red) tentu akan berpengaruh terhadap rantai pasoknya. Apalagi, barang-barang pertanian memiliki sifat mudah rusak, volumeous, dan bulky. Hal ini akan membawa konsekuensi terhadap tingginya biaya transportasi.

Strategi Jangka Pendek dan Panjang
Kelima pakar tersebut sepakat bahwa dalam menghadapi masalah kekurangan pangan ada strategi jangka pendek dan jangka panjang. Strategi jangka pendek, pertama adalah rumah tangga agar menyimpan bahan pangan untuk jangka waktu dua tiga bulan ke depan atau bagi masyarakat yang mengkonsumsi beras, sampai musim panen gadu (padi yang dipanen pada musim kemarau, Red). Hal ini sesuai dengan paradigma baru bahwa titik berat ketahanan pangan titik bukan kepada ketahanan pangan nasional, tetapi lebih kepada ketahanan pangan rumah tangga.

Strategi kedua, memanfaatkan instrumen dana desa untuk membeli gabah yang masih ada pada akhir musim panen ini dan panen musim gadu pada beberapa bulan mendatang. Kemudian, merevitalisasi bangunan yang tidak digunakan untuk lumbung desa ataupun lumbung komunitas.

Pengelolaan mulai dari pembeliaan gabah, pengolahan menjadi beras, sampai pemasaran berasnya diserahkan kepada BUMDes. Strategi terakhir adalah pemanfaatan lahan pekarangan untuk penyediaan pangan.

Untuk strategi jangka panjang dalam rangka ketahanan pangan, antara lain pengembangan food estate pada lahan sawah yang sudah ada, yang berbasis klaster dan inovasi untuk dapat meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing produk dan wilayah. Pengembangan food estate ini tentunya diutamakan pada daerah-daerah yang rawan pangan dan daerah sekitarnya.

Selain itu, agar dapat mengurangi konsumsi beras, maka masyarakat didorong untuk memakan sayuran. Kemudian, untuk mengurangi impor gandum, maka pemerintah perlu memberikan afirmasi kebijakan untuk penggunaan modified cassava flour (Mocaf)) yang berbasis bahan baku singkong, sebagai campuran terigu.

Strategi jangka panjang lain adalah meningkatkan daya coping mechanism masyarakat dalam ketahanan pangan. Di samping itu, gagasan tentang “Metropolitan Food Cluster” juga patut untuk dikembangkan, khususnya mengantisipasi krisis pangan di perkotaan yang memiliki keunggulan pada rantai pasok yang efisien dan produktif.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here