Matanurani, Jakarta – Sejumlah kalangan menilai persoalan ketimpangan ekonomi mesti diatasi dengan mengangkat kesejahteraan petani di perdesaan yang selama ini dimiskinkan oleh kebijakan impor pangan secara masif. Impor pangan Indonesia kini mencapai 12 miliar dollar AS atau sekitar 160 triliun rupiah.
Oleh karena itu, pembangunan ekonomi kerakyatan mesti dipacu dengan fokus mengembangkan substitusi impor, khususnya komoditas pangan.
Hal itu selain akan mengurangi kebergantungan pada impor, sekaligus juga menyejahterakan petani nasional. Apabila petani sejahtera maka kemiskinan di perdesaan yang selama ini menjadi kantong kemiskinan bakal berkurang sehingga pada akhirnya mempersempit jurang ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Pengamat pertanian dari UPN Veteran Surabaya, Ramdan Hidayat, menyatakan pengembangan substitusi impor pangan tidak hanya mendukung ekonomi kerakyatan, tapi juga menekan praktik rent seeking yang melanggengkan impor tanpa kendali.
“Dengan mendorong subtitusi impor akan mengurangi kebergantungan kita akan bahan pangan impor, memperkuat agro industri yang seharusnya menjadi basis ekonomi kerakyatan,” ujarnya, Selasa (18/7).
Ramdan menambahkan apabila sektor agribisnis berkembang pesat maka akan memacu ekonomi rakyat di perdesaan sehingga meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memperbaiki daya beli petani.
“Pembangunan substitusi impor pangan sekaligus bisa mengurangi praktik rent seeking impor yang banyak dilakukan pengusaha kroni,” tukas dia.
Apalagi, lanjut Ramdan, jika upaya tersebut dibarengi dengan penerapan tarif impor pangan yang lebih tinggi maka pendapatan negara pun terbantu.
Sebelumnya, pengamat ekonomi kerakyatan dari Institute for Policy Studies (IPS), Tarli Nugroho, mengemukakan solusi ketimpangan terutama bisa dilakukan dengan membangun ekonomi kerakyatan, dimulai dengan kesejahteraan petani di perdesaan.
“Yang perlu dilakukan mengubah kebijakan pangan dari berorientasi impor yang mematikan petani menjadi pembangunan substitusi impor pangan yang melibatkan peran petani nasional sebesar-besarnya,” papar dia.
Melalui substitusi impor, lanjut Tarli, devisa impor pangan 12 miliar dollar AS setahun yang semula dihamburkan untuk petani asing bisa dialihkan dan dinikmati petani nasional dengan membeli produk pangan mereka sehingga kesejahteraan petani terangkat.
“Tanah terlantar bisa dimanfaatkan untuk pembangunan pangan nasional, terutama untuk substitusi impor.
Itu dana impor 160 triliun rupiah bila disebar ke petani kita sendiri akan dahsyat sekali dampaknya,” jelas dia.
Menurut Tarli, untuk menggerakkan perekonomian rakyat tidak perlu bergantung pada bantuan pengusaha kelas hiu. Yang diperlukan adalah bagaimana pemerintah mendesain kebijakan agar pelaku usaha, khususnya kelas kecil dan menengah, dapat ikut berbisnis.
Akar Masalah
Sementara itu, Program Director International Resource Initiative (IRI), Wisnu Agung Prasetya, mengemukakan ketimpangan hanya bisa diatasi jika pemerintah fokus pada akar masalah, yakni keadilan fiskal.
Untuk itu, pemerintah perlu segera menghentikan subsidi untuk orang superkaya dalam bentuk pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar 70 triliun rupiah setahun.
“Selanjutnya, dana tersebut dialihkan untuk pengembangan substitusi impor pangan dan ekonomi kerakyatan.
Dengan jalan seperti inilah persoalan kesenjangan akan bisa diselesaikan,” papar Wisnu. Menurut dia, pemerintah perlu memikirkan hal itu. Solusi berbasis hukum pada kasus BLBI maupun pertimbangan memperkuat kapasitas APBN untuk kesejahteraan rakyat bisa diterapkan untuk menghentikan bunga obligasi rekap.
Wisnu menegaskan sudah saatnya urusan ketimpangan dikerjakan oleh seluruh elemen bangsa. Pemerintah memimpin dengan political will yang kuat untuk menghentikan kebijakan keliru masa lalu, yakni utang BLBI.
Kemudian membangun struktur ekonomi yang berpihak pada rakyat, khususnya petani, yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia. (Koj).