Home Opini Sok Hebat Anak Pejabat, Tontonan Memuakkan Sepanjang 2024

Sok Hebat Anak Pejabat, Tontonan Memuakkan Sepanjang 2024

0
SHARE

Oleh : Muhammad Reza Panangian

PERILAKU anak-anak orang berpangkat kerap meresahkan, melebihi jabatan orang tuanya bikin mengelus dada. Tampaknya fenomena ini sudah jadi lumrah di negeri ini. Bagaimana tidak? Belum lekang dari ingatan masyarakat soal kelakuan sok jagoan Mario Dandy, anak eks pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun, menganiaya David Ozora hingga koma, pada 2023. Sepanjang tahun ini, publik pun kembali dipertontonkan fenomena memuakkan ini.

Yang paling bikin geger, kasus Ronald Tannur anak dari politikus Edward Tannur yang menjadi terpidana akibat kelakuan sadisnya membunuh kekasihnya sendiri, Dini Sera, medio Juli 2024. Bukannya menghukum atau mendidik, orang tuanya malah nekat menyuap hakim PN Surabaya agar bisa membebaskan anaknya dari jerat hukum.

Akibat memanjakan anak berbuntut panjang. Sudah sang ayah harus melepaskan jabatannya sebagai anggota DPR RI, mirisnya sang ibu Meirizka Widjaja, sejak November 2024 resmi menjadi tahanan Kejaksaan Agung (Kejagung) karena usahanya menyuap hakim terungkap dan diusut.

Enam bulan sebelum mencuatnya tingkah di luar nalar Ronald Tannur, tepatnya 30 Januari 2024, aksi sok hebat anak pejabat juga terjadi di lingkungan sekolah. Siswa Binus School Simprug berinisial RE (16) jadi korban perundungan (bullying) oleh sejumlah anak pejabat. Ada yang anak anggota dewan, anak hakim Mahkamah Konstitusi (MK), bahkan ada juga anak ketua umum partai politik. Kasus ini sempat jadi perhatian publik, bahkan dibahas di parlemen, meski ujungnya menguap tanpa ada kejelasan. Bukan saja penyelesaian kasusnya, identitas para pelaku pun sampai kini tak juga terungkap.

“Lalu sahabat dari ketua geng ini mengakui, ‘lu jangan macem-macem. Bapak gue ketua partai sekarang’. Anak yang berinisial M mengaku dan mengatakan itu kepada saya,”  ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, saat audiensi dengan Komisi III DPR RI pada Selasa (17/9).

RE mengatakan bahwa anak dari ketua umum partai itu melakukan bullying verbal secara rutin kepadanya. “Dia tidak memukul saya, tapi dia secara intens mem-bully saya secara verbal,” kata RE seraya menambahkan, “dia selalu bersekongkol dengan gengnya, selalu mem-bully saya secara verbal, selalu menghancurkan mental saya.”

Terbaru, Lady Aurellia anak dari Kepala BPJN Kalimantan Barat Dedy Mandarsyah yang merajuk ketika diberi tugas piket akhir tahun di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra Palembang. Buntut perilaku manjanya memakan korban, lantaran seniornya bernama Muhammad Luthfi Hadhyan selaku dokter koas yang mengatur jadwal piket dianiaya sopirnya.

Peristiwa ini terekam kamera dan viral. Sudah tentu wakil rakyat di Senayan paling terdepan memberikan pandangan dan imbauan. Meski baru sebatas kata-kata, setidaknya ada yang menyerukan agar para pejabat publik menjaga sikap baik dirinya maupun keluarga.

Support System yang Sehat

Sebuah riset bertajuk “Social class, solipsism, and contextualism: How the rich are different from the poor” (2012), menjelaskan bagaimana sumber daya yang dimiliki seseorang dari kelas sosial tertentu dapat memengaruhi perilaku. Orang yang berangkat dari latar belakang mapan cenderung lebih fokus pada dirinya. Sebab sejak awal, orang-orang kaya sudah disokong dengan sumber daya besar. Artinya, mereka bisa tumbuh jadi lebih mandiri atau merdeka untuk fokus meraih cita-cita.

Berbeda dengan masyarakat ekonomi bawah yang sumber dayanya terbatas. Mereka tidak punya tingkat kebebasan setinggi orang kaya. Akibatnya, fokus mereka mengarah ke luar, yakni bersikap lebih awas atau sensitif terhadap orang lain dan kondisi sosial di sekitarnya.

Psikolog keluarga Nuzulia Rahma Tristinarum mengatakan, terdapatnya beberapa kesalahan dalam pengasuhan anak akan cukup signifikan pengaruhnya terhadap perilaku. Dia menuturkan, anak pejabat biasanya selalu dipenuhi kebutuhan fisik dan materinya, sayangnya tak dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan mental sehingga anak berasa terabaikan.

Kondisi ini, menurut Lia—sapaan akrabnya—tanpa disadari akan menjadi dalih bagi orang tua untuk memanjakan sang anak, ujungnya memicu perilaku arogan. Selalu menuruti keinginan anak tanpa melihat situasi dan kondisi, menjadikan anak tidak belajar berpikir dan berusaha.

Bukan cuma perkara pola asuh, Psikolog Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto mendorong pemerintah untuk mengeluarkan regulasi demi menertibkan bagi anggota keluarga pejabat yang bermasalah. Menurutnya, langkah ini perlu segera dilakukan guna meminimalisasi tingkat ketergantungan anak terhadap jabatan orang tuanya, utamanya yang berhadapan dengan hukum.

Bila kita menengok ke belakang, ke sejarah para pembesar di masa lalu, kisah anak Sayyidina Umar bin Khatab, Abdullah bin Umar adalah teladan yang baik bagi para anak pejabat negeri ini. Dalam kitab Masu’ah Min Akhlaqi ar-Rasul, Mahmud al-Mishri, Abu Amar mengisahkan tentang putra Umar memelihara kambing. Kebetulan dia menggembalakan kambing-kambingnya di halaman istana ayahnya.

Suatu hari, ketika sedang bertamu ke rumah anaknya, Umar takjub melihat kambing-kambing yang sangat gemuk. Kemudian ia meminta anaknya agar menjual kembali kambingnya yang gemuk-gemuk. Ia membolehkan Abdullah mengambil kembali modalnya, namun keuntungan penjualan mesti disetor ke kas negara. Awalnya Abdullah protes, namun setelah dijelaskan dia pun paham dan malu pada ayahnya.

Kisah ini menjadi refleksi bahwa tidak ada salahnya jadi anak pejabat, asalkan sedari dini ditanamkan bahwa anak pejabat bukanlah pemilik wewenang yang diamanahkan. Ia tak ubahnya dengan anak-anak lain yang bukan pejabat. Jadi pada hakikatnya semua fasilitas yang diberikan ke seorang pejabat guna mendukung kinerjanya tak semestinya bisa pula dimanfaatkan anak, hingga membuat buah hatinya lupa daratan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here