Oleh, Dr Tonny Hendratono
INDUSTRI pariwisata Indonesia telah kehilangan momentum untuk tumbuh dan berkembang pada tahun 2020 ini, sebagai dampak pandemi covid 19. Semua indikator yang berkaitan dengan pariwisata mengalami penurunan yang sangat signifikan seperti perolehan devisa, jumlah kunjungan wisatawan baik mancanegara maupun nusantara, penurunan nilai ekspor dan kontribusi pariwisata terhadap PDB. Namun secercah harapan mulai nampak dipertengahan tahun 2020 ini, ketika beberapa negara mulai membuka diri dari lock down, begitu juga pemerintah Indonesia mulai mengendorkan PSBB di beberapa wilayah. Kondisi ini memberi angin segar bagi kehidupan industri pariwisata. Seperti hasil penelitian alvara (2020) menemukan 21% menyatakan berwisata sebagai aktivitas yang paling diinginkan setelah pandemi covid 19 selesai. Diharapkan di pasca pandemi covid 19 dengan muculnya era new normal memberikan dampak positif bagi destinasi pariwisata, sehingga dapat memicu kembali tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata Indonesia.
Namun di era new normal pola berwisata akan mengalami perubahan yang sangat signifikan dan dratis, sesuatu yang dulu tidak pernah dilakukan, kini akan menjadi kewajiban bahkan kebiasan baru yang akan dilakukan dalam berwisata. Perilaku wisatawan akan mengalami perubahan terutama berkaitan dengan aspek kesehatan, keamanan dan kebersihan dalam pengambilan keputusan untuk berwisata. Manajemen destinasi pariwisata perlu mencermati fenomena baru, untuk memberikan rasa nyaman terhadap wisatawan, sehingga dapat memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi wisatawan. Kekecewaan wisatawan bisa menyebabkan kerugian bahkan sampai kebangkrutan pada destinasi pariwisata. Alegre dan Cladera (2006} menyampaikan hasil penelitiannya bahwa loyalitas pelanggan terhadap destinasi pariwisata sangat tergantung dari kepuasan saat mendapatkan pengalaman yang menyenangkan ketika berwisata. Sementara TRAPP (2013) membuktikan 96% pelanggan yang tidak puas tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu, perubahan perilaku wisatawan akan menjadi hal yang sangat penting bagi aktivitas manajemen destinasi pariwisata.
Morrison (2010) mendefinisikan perilaku wisatawan adalah bagaimana wisatawan memilih, mengonsumsi dan bertindak setelah mengonsumsi jasa pada industri hospitaliti dan travel. Ada dua faktor yang memengaruhinya yaitu personal dan interpersonal. Faktor personal meliputi kebutuhan, keinginan, motivasi, persepsi, pembelajaran, kepribadian, gaya hidup dan konsep diri. Sementara faktor interpersonal meliputi budaya, grup referensi, kelas social, opini pimpinan dan keluarga. Sementara Amstrong, Kotler dan Silva (2006) mengemukan faktor-faktor yang memengaruhi perilaku dalam pembelian adalah kondisi lingkungan, organisasi perusahaan, interpersonal dan individual. Sementara proses pengambilan keputusan meliputi beberapa tahap yaitu kesadaran akan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi dari beberapa pilihan, pembelian dan evaluasi pasca-pembelian. Tahap proses pencarian informasi dan evaluasi pilihan merupakan tahapan strategis bagi manajemen destinasi pariwisata dalam memberikan informasi yang tepat dan cepat kepada wisatawan. Karena pada tahap ini wisawatan sebagai insan sosial sangat dipengaruhi oleh informasi tidak hanya dari perusahaan tetapi juga dari eksternal perusahaan.
Guleria (2016) mengemukakan motivasi wisatawan dalam berwisata akan sangat bergantung dari perilaku wisatawan. Sehingga memahami perilaku wisatawan di era new normal sangat bermafaat bagi manajemen destinasi pariwisata, sebagai dasar untuk menyusun strategi pemasaran dan implementasi rencana pemasaran melalui baur pemasaran (marketing mix) yang meliputi product, partnership, people, packaging and programming, place, promotion (Morisson, 2010). Smith dan Zook (2011) mengemukakan dua tindakan yang dilakukan setelah pasca-pembelian (1) puas, memiliki kesetiaan dan akan melakukan pembelian ulang, (2) kecewa dan menolak terhadap merek tersebut. Oleh karena itu, menjadi suatu keniscayaan bagi manajemen destinasi pariwisata untuk mengkaji implikasi perubahan perilaku pelanggan, dengan paradigma baru seperti penerapan protokol kesehatan, social distancing dan physical distancing secara ketat, namun tidak mengesampingkan keakraban dan keramah tamahan sebagai ciri khas industri pariwisata.
Jakarta, 30 Mei 2020
Penulis adalah Dosen STIPRAM Jogyakarta