Oleh: Rusdianto Samawa
DALAM beberapa agenda roadshow dan pertemuan bersama nelayan, mereka meminta pemerintah berpihak dan proaktif untuk menjamin kesejahteraan. Mereka menilai kebijakan pemerintah belum berpihak terhadap masyarakat pesisir: nelayan dan pembudidaya.
Nelayan pun, berniat melakukan demonstrasi ke Istana Negara untuk menuntut perubahan regulasi yang lebih berpihak pada masyarakat pesisir: nelayan dan pembudidaya. Terutama, UU Cipta Kerja pada sektor kelautan perikanan UU No 11 tahun 2020 sangat tidak efektif dalam menuntaskan kemiskinan dan menyerap tenaga kerja di sektor kelautan dan perikanan.
Tentu, demonstrasi nelayan dan pembudidaya diharapkan dapat diterima tuntutannya. Hal ini, dilakukan untuk meningkatkan kesadaran pemerintah akan pentingnya memperhatikan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir.
Beberapa tuntutan nelayan yang bisa menjadi resume dan hipotesis kebijakan pemerintah ke depan yakni:
Pertama, Pembatalan UU Cipta Kerja dan penyusunan regulasi baru yang lebih berpihak pada nelayan dan masyarakat pesisir.
Tuntutan tersebut, setelah menilai secara objektif bahwa UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja memiliki problem substansi dan metodologis yang merugikan nelayan dan masyarakat pesisir.
Problem Substansi pada UU Cipta Kerja yakni 1) Liberalisasi Penguasaan dan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil: Pasal 26A UU No. 6 Tahun 2023 memungkinkan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya untuk kepentingan investasi, yang dapat meminggirkan nelayan dan masyarakat pesisir.
2) Eksploitasi Sumber Daya Alam: terjadi perubahan zona inti konservasi laut untuk kepentingan proyek strategis nasional, yang mengancam kelestarian ekosistem pesisir dan laut.
3) Percepatan Proyek Ekstraktif: mempercepat pelaksanaan proyek-proyek ekstraktif, seperti pertambangan dan perikanan skala besar, yang merusak lingkungan dan ancaman terhadap kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir.
Sementara dari sisi, problem metodologi, bahwa UU Cipta Kerja merusak sistem demokrasi karena kurangnya partisipasi publik dalam pembentukan UU No. 6 Tahun 2023 yang tidak melibatkan partisipasi publik secara luas, sehingga nelayan dan masyarakat pesisir tidak memiliki kesempatan untuk sampaikan aspirasi.
Dagelan kebijakan Jokowi ini.
Selama ini, desakan tuntutan kepada pemerintah oleh organisasi nelayan tak pernah terdengar. Akibat dan dampak dari UU Cipta Kerja membuat kerusakan secara sistemik.
Berbagai tuntutan seperti:
1) Mencabut UU No. 6 Tahun 2023 dan menyusun regulasi baru yang lebih berpihak pada nelayan dan masyarakat pesisir.
2) Menjalankan Mandat UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, yang mewajibkan pemerintah untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan.
3) Mengevaluasi Proyek-Proyek Ekstraktif: yang ada di wilayah pesisir, laut, dan pulau kecil, dan menghentikan proyek yang merusak lingkungan dan mengancam kehidupan nelayan tradisional.
Kedua, Peningkatan infrastruktur dan teknologi untuk mendukung industri perikanan.
Kita bisa ambil contoh beberapa negara yang modernisasi infrastruktur dalam proses peningkatan kapasitas industri perikanan, sehingga pemerintah bisa melakukannya, yakni:
1) modernisasi infrastruktur Pelabuhan Perikanan yang memadai sehingga bisa meningkatkan efisiensi dan produktivitas nelayan. 2) Pembangunan infrastruktur Jeti Pendaratan Ikan yang dapat memudahkan nelayan dalam mendaratkan hasil tangkapan. 3) Pembangunan Infrastruktur Pusat Pengumpulan dan Pengedaran Ikan yang dapat menjaga kualitas dan keamanan produk perikanan. 4) Fasilitas Bilik Sejuk: Fasilitas bilik sejuk dapat menjaga kualitas produk perikanan dan meningkatkan daya saing. Semua infrastruktur ini, terkadang kosong sama sekali di pelabuhan perikanan.
Selain itu, Teknologi juga penting mendukung industri perikanan, seperti 1) penggunaan teknologi budidaya yang modern dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi nelayan. 2) Penggunaan teknologi penangkapan ikan yang modern dapat membantu nelayan meningkatkan hasil tangkapan dan mengurangi biaya operasional dan 3) Implementasi sistem manajemen rantai pasok dapat membantu meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam distribusi produk perikanan.
Ketiga, Pengembangan kapasitas sumber daya manusia di sektor perikanan; masalah terbesar sektor kelautan perikanan dianggap sepele kapasitas sumber daya manusia, sehingga terjadi pelambatan yang cukup parah.
Padahal, sangat penting untuk produktivitas nelayan serta keberlanjutan yang didukung oleh pembangunan infrastruktur yang memadai seperti pelabuhan perikanan, tempat pelelangan ikan, dan pusat budidaya sehingga di masa depan dapat fasilitasi distribusi hasil tangkapan dan perluas akses pasar.
Selain itu, pembentukan koperasi nelayan dan kelompok usaha bersama dapat meningkatkan daya saing dan akses pasar bagi pelaku usaha lokal. Kolaborasi antara pemerintah daerah, akademisi, koperasi, organisasi nelayan, dan sektor swasta yang mendukung pengelolaan bersama sumber daya kelautan dan perikanan.
Hal itu, bisa diperkuat penerapan teknologi modern seperti sistem informasi geografis (GIS) untuk pemetaan sumber daya laut dan teknologi pengolahan yang efisien sehingga meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan.
Salah satu contoh keberhasilan pengembangan kapasitas sumber daya manusia di sektor perikanan dapat dilihat pada studi kasus budidaya rumput laut di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Karena, adanya kolaborasi antara pemerintah, koperasi, akademisi, organisasi nelayan dan sektor swasta sehingga tingkatkan produksi dan akses pasar rumput laut yang sangat berhasil saat ini maupun masa mendatang.
Ya, tentu disadari dalam banyak faktor tantangan yang dihadapi, seperti perubahan Iklim yang mengancam ekosistem laut dan mengganggu aktivitas perikanan.
Kemudian, Pencemaran lingkungan dari limbah industri dan rumah tangga yang mencemari perairan hingga tantangan atas fluktuasi harga pasar yang sering tidak stabil di pasar global.
Terutama, tantangan berat adalah masih banyak daerah kekurangan fasilitas pendukung yang memadai. Dengan demikian, pengembangan kapasitas sumber daya manusia di sektor perikanan perlu dilakukan secara berkelanjutan dan terintegrasi dengan pengembangan infrastruktur dan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menjaga keberlanjutan sektor perikanan.
Keempat, Perlindungan terhadap nelayan dan masyarakat pesisir. Selamat ini, UU Cipta Kerja merusak sistematika pemerintah dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir melalui kebijakan program ekonomi yang berkelanjutan dan berpihak.
Terutama, pemerintah tidak lagi menyediakan jaminan sosial keamanan bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Lebih fatal lagi, pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan masyarakat pesisir: nelayan dan pembudidaya tidak lagi mendapat sokongan memadai, seperti pelabuhan perikanan, jalan, dan fasilitas kesehatan, untuk aksesibilitas dan kualitas hidup.
Persoalan lainnya, lebih krusial lagi, tidak lagi tersedia aspek pendidikan yang relevan untuk mendorong berkembangnya keterampilan dan pengetahuan nelayan dan masyarakat pesisir. Ditambah, perilaku dan pola pengawasan dan penegakan hukum tidak lagi melindungi nelayan dan masyarakat pesisir, malah terjadi eksploitasi dan penindasan.
Dengan demikian, berbagai isu diatas, alasan tepat bagi nelayan untuk demonstrasi, yang diharapkan menjadi momentum penting bagi perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat pesisir: nelayan dan pembudidaya sehingga meminta pemerintah untuk berpihak dalam berbagai beberapa hal-hal yang menunjang produktifitas dan kesejahteraannya, seperti: Pertama, Nelayan meminta pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan melalui kebijakan yang mendukung kegiatan koperasi, industri perikanan dan meningkatkan pendapatan nelayan.
Kedua, Perlindungan hak dan Melibatkan Koperasi maupun Organisasi Nelayan: Nelayan meminta pemerintah untuk melindungi hak-hak mereka, seperti hak untuk menangkap ikan di wilayah yang aman dan terjamin.
Ketiga, Nelayan meminta pemerintah untuk bangun infrastruktur yang mendukung industri perikanan, seperti pelabuhan perikanan dan fasilitas penyimpanan ikan.
Keempat, Nelayan meminta pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik penangkapan ikan ilegal dan perusakan lingkungan laut oleh Oligarki yang melakukan penguasaan tanah pesisir maupun pulau-pulau kecil.
Kelima, batalkan UU Cipta Kerja di sektor Kelautan-Perikanan maupun sektor lainnya.Dengan demikian, nelayan berharap pemerintah dapat memahami kebutuhan dan aspirasinya serta mengambil kebijakan yang berpihak, mendukung kesejahteraan dan keberlanjutan industri perikanan.
Penulis adalah Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI)