Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby
TIDAK berlebihan jika saya mengatakan bahwa para “cheerleaders Arab” atau, sebut saja, “Arab KW” di Indonesia itu gagal paham dan gagal total dalam menyikapi fenomena perkembangan masyarakat Arab modern di Timur Tengah. Yang saya maksud dengan “Arab KW” di sini adalah *orang-orang non-Arab yang meniru-niru dandanan, gaya hidup, sikap, atau pola pikir yang mereka imajinasikan sebagai Arab.* Meskipun “dalihnya” mereka bilang “nyunah rasul”, prakteknya sebetulnya “nyunah imagined Arab”.
Saya katakan “imagined Arab” atau masyarakat Arab yang diimajinasikan karena apa yang mereka praktekkan dalam banyak hal bertolak-belakang dengan fakta-fakta perkembangan masyarakat Arab kontemporer. Simak misalnya dalam hal bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari, kenapa harus serba Arab: abi-umi, akhi-ukhti, ikhwan-akhwat, ane-ente (oh yang terakhir ini “Arab Betawi” he he). Bukan hanya soal ngomongnya tetapi juga soal “fanatisme Bahasa Arab”-nya.
Lebih konyol lagi anggapan penggunaan Bahasa Arab dalam berbagai sapaan salam, ucapan selamat, ulang tahun, dan perayaan lainnya dipandang lebih Islami serta menganggap penggunaan bahasa non-Arab, apalagi Bahasa Inggris dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, dianggap “bahasa kafir” yang tidak Islami. Padahal masyarakat Arab modern adalah masyarakat yang sangat adaptif dengan aneka bahasa asing.
Bahkan Bahasa Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi “bahasa kedua” di sejumlah Negara Arab baik karena tuntutan zaman yang berkembang pesat atau karena ikatan dengan sejarah kolonialisme.
Dalam hal berpakaian juga begitu. Berbeda dengan para “Arab KW” yang “unyu-unyu” dan “fanatik berjubah”, masyarakat Arab modern sangat fleksibel, modis, dan adaptif dalam hal berpakaian. Pakaian non-jubah dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat biasa buat mereka. Yang masih ketat dalam pemakaian jubah biasanya adalah orang-orang tua atau mereka yang tinggal di kawasan pedalaman. Gamis buat masyarakat Arab modern hanyalah sebuah tradisi dan kebudayaan Arab, hanya “selembar kain” buatan manusia dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kualitas keimanan-keislaman.
Pula, tidak seperti para “Arab KW” yang anti kebudayaan Barat, masyarakat Arab modern adalah “sangat Barat”: “sangat Amerika”, dan “sangat Eropa”. Mereka menganggap Barat, khususnya Amerika Utara dan Eropa Barat, adalah simbol kemajuan di dunia pendidikan, peradaban, dan teknologi khususnya, karena itu mereka berlomba-lomba menyekolahkan anak-anak mereka ke kampus-kampus beken di Barat.
Melalui beasiswa King Abdullah Scholarship Program saja sudah lebih dari 150.000 anak-anak muda Saudi dikirim ke kampus-kampus top di Barat (catat ya: tidak ada satupun yang dikirim ke Indonesia!) untuk belajar dari S1-S3. Itu belum termasuk biassiswa yang disediakan oleh industri-industri besar seperti Saudi Aramco yang juga memberangkatkan ribuan kader-kader muda Saudi setiap tahunnya untuk belajar berbagai bidang keilmuan di Amerika. Saya juga membimbing sejumlah mahasiswa Saudi yang mau melanjutkan studi di negara “Uncle Sam”.
Masih banyak lagi contoh lainnya, capek kalau ditulis semua di sini. Jadi, jelas bahwa para “Arab KW” di Indonesia telah “gagal paham” dalam melihat realitas perkembangan sosial-kebudayaan dunia Arab yang mereka imajinasikan.