Oleh : Endang Kusnandar
MAHKAMAH Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dalam sidang terbuka yang digelar pada Kamis 26 Juni 2025 resmi membacakan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Putusan ini merupakan hasil pengujian terhadap sejumlah pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang diajukan oleh Yayasan Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi).
Mahkamah Konstitusi memutus bahwa format pemilu serentak lima kotak yang dilaksanakan dalam satu hari (Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) tidak efektif, membebani pemilih dan penyelenggara, serta merusak kualitas demokrasi.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyebut format ini menimbulkan kerumitan administratif, pelemahan partai politik, dan penurunan kualitas rekrutmen caleg.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa format pemilu serentak yang konstitusional ke depan adalah:
1. Pemilu Serentak Nasional: untuk memilih Presiden, DPR, dan DPD.
2. Pemilu Serentak Daerah (dua tahun setelahnya): untuk memilih Gubernur, Bupati/Walikota, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Dengan pemisahan ini, pemilih lebih fokus, partai politik memiliki ruang kaderisasi yang cukup, dan penyelenggara pemilu dapat bekerja dengan beban yang lebih proporsional.
Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Daerah dan DPRD Konsekuensi Format Baru
Sebagai konsekuensi dari pemisahan jadwal ini, Mahkamah menegaskan bahwa masa jabatan kepala daerah dan DPRD hasil Pemilu dan Pilkada 2024 akan diperpanjang, untuk menyesuaikan siklus pemilu yang baru:
A. Kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) hasil Pilkada 2024 akan dilantik pada 2025, dan masa jabatannya diperpanjang hingga 2031.
B. Anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota hasil Pemilu 2024, yang seharusnya berakhir 2029, juga diperpanjang hingga 2031.
Langkah ini dipandang legal dan konstitusional sebagaimana masa transisi Reformasi 1999, demi membangun sistem pemilu yang stabil, konsisten, dan berkelanjutan.
Putusan ini juga menegur keras DPR dan Pemerintah yang selama dua kali pemilu (2019 dan 2024) tidak pernah mengevaluasi model lima kotak, meskipun MK sebelumnya telah memberi peringatan melalui Putusan No. 55/PUU-XVII/2019.
Mahkamah menyayangkan tidak adanya itikad baik pembentuk UU untuk melaksanakan arahan konstitusional.
Format baru ini juga sejalan dengan kebutuhan akan integrasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Dengan jeda dua tahun antara pemilu nasional dan daerah, setiap pemerintahan baru dapat menyusun RPJMD yang selaras dengan RPJMN dan RPJPN, sebagaimana mandat UU No. 59 Tahun 2024.
Penutup dan Seruan
Keberanian Mahkamah dalam mengambil peran aktif sebagai penjaga konstitusi dan pengawal demokrasi substansial wajib di apresiasi.
Disampaikan seruan kepada DPR RI, Pemerintah, dan KPU untuk:
1. Segera menyusun revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
2. Menyiapkan aturan transisi yang jelas, adil, dan akuntabel atas perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD.3. Melibatkan publik secara luas dalam reformasi sistem kepemiluan ke depan.
Putusan ini adalah momentum penting untuk membangun demokrasi yang sehat, efektif, dan berpihak pada rakyat.
Penulis adalah Sekjen Kepala Desa Indonesia Bersatu (KIB)