Brian May, wartawan berkewarganegaraan Amerika yang bekerja untuk kantor berita Prancis – AFP (Agence France Presse) seusai bertugas di Jakarta di tahun 1970-an, menulis buku tentang Indonesia.
“The Indonesian Tragedy”, judul bukunya, kemudian dilarang oleh pemerintah Orde Baru beredar di Indonesia.
Saya menduga, larangan itu terkait dengan isinya yang banyak bertentangan dengan apa yang dikleim oleh rezim Orde Baru.
Misalnya, May merasa aneh tuduhan kepada Bung Karno sebagai Presiden yang ikut terlibat dalam usaha kudeta (gagal) oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) di tahun 1965.
“Soekarno, saat usaha kudeta PKI terjadi, sudah berstatus sebagai Presiden RI seumur hidup. Penetapan status dilakukan oleh MPRS, lembaga tertinggi negara. Dia juga Panglima Tertinggi Angkatan Perang Indonesia. Lalu apa alasan dan logika atas tuduhan bahwa Soekarno mau mendukung PKI yang mau mengkudeta? Apa masuk akal Soekarno mengkudeta pemerintahannya sendiri ?”, begitu aksioma pertanyaannya.
Sekalipun dilarang, buku yang hanya bisa dibeli di Singapura ketika itu – selama pemerintahan Orde Baru, tetap saja dicari dan dibeli orang.
Baru setelah rezim Orde Baru berakhir kekuasaannya – bersamaan dengan berhentinya Jenderal Besar Soeharto pada 21 Mei 1998, buku karya wartawan asing itu bisa diperoleh secara bebas. Dengan catatan, setelah sekitar 20 tahun ditulis, buku terbitan terbaru mengalami revisi.
Salah satu substansi isi buku Brian May tersebut saya angkat, karena saat ini, saya tandai, sebetulnya ada situasi dan gejala yang sama sedang berulang. Yakni penyesatan informasi.
Publik atau awam yang tidak paham tetap manuver politik dari para ahli politik, bisa terpengaruh dengan informasi yang disesatkan.
Yang jadi sasaran, kembali seorang Presiden, seorang sipil. Presiden yang ingin merangkul semua kekuatan, dipersepsikan berpihak hanya pada satu atau partai tertentu. Terjadi framing dan formating
Dalam hal dua konsep di atas, persamaan Soekarno dan Joko Widodo, juga kelihatannya ada. Yakni keduanya mencoba menjaga jarak dengan militer.
Namun usaha ini disesatkan dengan harapan bisa muncul sebuah kegaduhan, akibat dari keberpihakan politik sang Presiden. Sikap yang menjaga jarak ini tidak dipandang sebagai hal positif demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Modusnya agak mirip. Militer, lewat pucuk pimpinannya dipanas-panasi, supaya terjadi kerenggangan antara insititusi militer dengan lembaga kepresidenan. Arahnya bisa ditebak. Mengadu domba Presiden dengan Panglima TNI. Konsep dasarnya, menyesatkan informasi, ‘menggoreng’ isu militer versus sipil.
Antara lain diangkat soal militer sebagai kekuatan penumpas komunis, kalah perlakuan baik dibanding dengan angkatan lain.
Polri misalnya yang konsentrasi pada pemberantasan teroris dan terorisme, dipersepsikan lebih memperoleh banyak perhatian ketimbang TNI. Lalu militer diharapkan tidak terbawa arus oleh cara Presiden memimpin.
Terkait dengan bahaya komunisme, Presiden Joko Widodo lalu diisukan sebagai kader PKI (Partai Komunis Indonesia). Tuduhan ini menurut saya tidak masuk akal. Karena Joko Widodo dilahirkan tahun 1961, sementara PKI melakukan kudeta yang gagal pada September 1965. Maksudnya, apa mungkin seorang murid Taman Kanak-Kanak berusia 4 tahun, sudah bisa menjadi kader PKI?
PKI sendiri dilarang eksis melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) tahun 1966.
Logikanya, apa mungkin sebuah partai terlarang bisa melakukan pengkaderan secara sembunyi-sembunyi selama 41 tahun – sejak 1966 hingga 2017?. Sementara di era Orde Baru – yang namanya kewajiban setiap warga berusia 17 tahun memiliki Surat Bebas G30S/PKI, wajib, dan menjadi sebuah kebijakan nasional.
Jadi kalau Joko Widodo merupakan seorang kader PKI, bagi saya logikanya adalah semua aparatur dan lembaga keamanan yang bertugas di era Presiden Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY, kalau bukan blo’on yah terlibat konspirasi dengan PKI.
Patutkah semua Presiden dianggap demikian?
Masih soal komunis atau komunisme dan kecurigaan pada Joko Widodo sebagai kader PKI.
Begitu Presiden Joko Widodo hadir dalam Konperensi Tingkat Tinggi Jalur Sutra (KTT OBOR – One Belt One Road) di Beijing pertengahan Mei baru lalu, beredar kabar, analisa dan argumentasi bahwa RRT sebagai negara komunis bakal “mengkomuniskan” Indonesia. Caranya melalui investasi besar-besaran yang diprakarsai di KTT OBOR. Penyebaran ideologi komunis dari RRT akan ditumpangkan di bisnis investasi.
Khusus yang berkaitan dengan komunisme dan agresifitas pemerintahan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dibawah pimpinan Presiden Xi Jinping, juga menjadi sorotan sekaligus disesatkan.
Disini saya melihat ketidak sukaan terhadap Presiden Joko Widodo, dilakukan dengan cara menyesatkan.
Sebab kalau bicara siapa yang membuka hubungan dengan negara komunis RRT, jelas bukan bekas Walikota Solo tersebut.
Sebelum Joko Widodo menjadi Presiden, hubungan Jakarta dan Beijing, sudah dibangun. Kebijakan berhubungan baik dengan RRT, hanya sebuah kelanjutan dari kebijakan Presiden sebelumnya.
Bahkan pencairan hubungan diplomatik RI – RRT, terjadi di saat Perang Dingin, perang antara negara blok anti-komunis dan pro komunis masih berlangsung. Artinya tensi ancaman komunisme itu masih sangat tinggi.
Dan yang melakukan normalisasi itu – seorang Presiden Soeharto yang terkenal anti-komunis. Paling tidak di eranya, komunisme dilarang hidup di Indonesia. Dan semenjak itu,1989, RI membuka pintu bagi investasi RRT.
Pertanyaannya, lantas mengapa soal investasi negara komunis RRT ini baru sekarang diramaikan atau dipersoalkan?
Mengapa ketika rezim Soeharto melakukan normalisasi hubungan dengan negara komunis itu pada tahun 1989, tidak ada yang mempersoalkannya?
Atau mengapa isu tentang RRT sebagai negara komunis yang berbahaya, baru muncul di era Presiden Joko Widodo? Mengapa tidak muncul di era SBY?
Benar bahwa komunisme tidak sesuai dengan ideologi Panca Sila. Namun menjadikan komunisme sebagai ideologi yang paling berbahaya saat ini, terlalu berlebihan dan mengada-ada. Tingkat keseriusan ancaman komunisme sebetulnya bisa dilihat dari kebijakan RRT di Hong Kong dan Makau. Hong Kong yang dulu bekas koloni Inggeris dan Makao bekas koloni Portugis – yang keduanya sudah menjadi bagian dari RRT. Kenyataannya, dua bekas koloni asing itu tidak serta merta menjadi pusat penyebaran komunisme di Asia.
Hong Kong tetap menjadi salah satu pusat keuangan di Asia Timur, Makau tetap sebagai pusat perjudian dan wisata kasino di Asia. Dua hal yang semestinya terlarang di sebuah negara komunis.
Di sini saya mencatat, keberanian menyesatkan fakta, sudah demikian terrencana. Kita digiring ke persepsi yang selalu berpikir negatif, dan diajak untuk tidak berpikir kritis lagi.
Nampaknya ada kekuatan tertentu yang ingin membodohi bangsa Indonesia. Dan hal ini merupakan sebuah dilema.
Sebab ketika ada yang mengajak kita untuk bergerak maju, di pihak lain ada kekuatan yang merintangi. Kaki kita dihalangi sedemikian rupa agar jangan melangkah depan. Kita didorong melakukan gerakan mundur.
Terhadap agenda RRT yang memperkenalkan proyek OBOR, tentu saja kita wajib kritis dan alert. Bahwa sebagai konseptor, RRT punya agenda tersembunyi untuk memetik keuntungan sebesar-besarnya, pasti ada.
Namun kalau program OBOR itu dilihat sebagai sebuah “komunisasi” atau “chinanisasi” atas Indonesia, perspektif itu, perlu kita kaji dan perdebatkan. Terutama mengingat yang diajak RRT masuk dalam agenda OBOR, tidak hanya Indonesia.
Mengapa saya berkesimpulan demikian ? KTT OBOR 14 -15 Mei 2017 lalu, tidak hanya dihadiri oleh Presiden RI. Dari sekitar 100 peserta, setidaknya ada 30 figur berstatus sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
Jarang-jarang saya membaca ulasan wartawan Al Jazeera. Namun khusus tentang KTT OBOR tersebut media yang dulu dikenal sering menyuarakan pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden, tak sebuah kalimat pun yang memberi penilaian negatif tentang RRT dan KTT OBOR.
Yang terjadi justru penilaian yang menyebutkan, OBOR lebih konkrit dan jelas, ketimbang APEC, G-20 dan Trans Pacific Partnership. Yang semuanya digagas oleh Amerika.
Yang menakut-nakuti, justru dari media yang berkaitan dengan Amerika. Tentu saja sikap menakuti-nakuti ini, patut dpertanyakan. Mengingat AS sendiri sejak awal melihat RRT sebagai pesaing dan ancaman potensilnya.
Sehingga hal ini membuat saya semakin berpikir dan bertanya. Apa iyah semua tokoh, pemimpin dari 30 negara tersebut rela dibohongi oleh seorang Xi Jinping – Presiden RRT? Sebaliknya saya terkesan dengan cara Xi Jinping menyambut para pemimpin negara yang ikut serta dalam KTT tersebut.
Sangat jelas protokol RRT menempatkan Presiden RI – Joko Widodo, sejajar dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Ketika berjalan kaki di lapangan terbuka menunju ke sebuah acara pemotretan, Xi Jinping berada di barisan terdepan dalam posisi di tengah. Vladirmir Putin di sebelah kanannya dan Joko Widodo berjalan di sebelah kirinya. Bagi saya, hal ini sebuah bukti adanya respektasi Tiongkok terhadap Indonesia, lewat Presiden Joko Widodo.
Selebihnya, lusinan atau puluhan Ketua Delegasi, berjalan di bagian belakang mereka.
Sekembali dari KTT OBOR, hanya selang kurang dari seminggu, Presiden Joko Widodo diundang oleh Raja Salman dari Arab Saudi, untuk hadir dalam KTT Arab – Islam – Amerika Serikat. Yang dibahas antara lain soal pemberantasan terorisme.
Kehadiran Presiden RI di KTT Ryadh, kembali menjadi sorotan, tapi tidak dalam perspektif yang menyeluruh. Kalau dinlai dari postingan di sejumlah media sosial, naga-naganya kelompok yang tidak menyukai Jokowi masih bertahan di Istana hingga 2019, menilai KTT Arab – Islam – Amerika tersebut, tak punya makna sama sekali.
Yang lebih bermakna justru keberadaan Ketua FPI di Arab Saudi yang ‘mendahului’ Presiden RI.
Presiden RI dengan Ketua FPI sedang dipersilangkan. .
Bingung saya melihat fenomena ini. Cara berpikir, cara berpolitik, cara memberi informasi kepada bangsa, jauh dari cara bersikap yang konstruktif.
Kejadian-kejadian yang saya sebutkan di atas, saya namakan semacam dilema bangsa. Sebab caranya, semakin tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Kalau di zaman Orde Baru kita mengalami tragedi seperti yang dikatakan oleh Brian May dalam bukunya, maka di era reformasi kata Derek Manangka, kita menghadapi sebuah dilema.
Penulias adalah wartawan senior