Oleh : Dr Ir S Benny Pasaribu, PhD
AKHIR – akhir ini semakin urgen mendorong semangat bangso Batak untuk melestarikan Habatakon yang tidak bertentangan dengan Hakristenon.
Jika pada generasi ini tidak berhasil mempersiapkan generasi Batak mendatang dengan mememehkan prinsip Habatakon maka banyak orang khawatir Habatakon akan hilang dan generasi berikutnya tidak lagi memahami apa itu Habatakon dan tidak lagi bangga sebagai orang Batak.
Habatakon termasuk tatacara menjalani kehidupan bermasyarakat. Disitu ada tatacara Partuturon, Bahasa, Aksara, Adat Istiadat, Torsa, Poda, Umpasa, dan sebagainya.
Perang Raja Sisingamagaraja XII melawan Balanda di tengah masuknya misionaris Kekristenan ke Tapanuli telah menghancurkan budaya dan peradaban bangso Batak. Banyak simbol – simbol budaya diangkut ke Jerman, Belanda, dan sebagainya.
Sampai saat ini, banyak peninggalan leluhur Batak disimpan di Museum di banyak negara, termasuk Perancis, Rusia, Amerika Serikat, dan sebagainya.
Nommensen, misionaris yang terkenal bagi HKBP, juga ikut mendorong agar peninggalan sejarah dijauhkan dari bangso Batak, tidak lagi tergantung pada budayanya dan menjadi pengikut ajaran Kekristenan. Seolah ada pemikiran bahwa tidak bisa meng-introduksi Kekristenan jika Habatakon tidak dihabiskan.
Namun, perkembangan globalisasi dan perang tarif Trump akhir-akhir ini membuktikan penjajahan dari negara kuat lebih banyak dalam bentuk penguasaan ekonomi/ investasi di negara lain.
Pelajaran yang kita dapat adalah bahwa cara menghancurkan suatu bangsa, dimulai dengan menghancurkan tradisi dan budayanya.
Memperkenalkan pola hidup yang konsumtif, materialistik, dan hedonis. Pola hidup seperti itu cenderung menekankan kehidupan yang mengejar harta/ uang, cara-cara individualisme dan meninggalkan tatacara kehidupan gotong royong dan kasih.
Bangsa yang berhasil dirubah seperti itu lambat laun akan punah. Aksaranya hilang, bahasanya hilang, adat istiadatnya hilang, alat-alat musiknya hilang, partuturon, dalihan natolu, dan seterusnya. Semua itu tidak penting lagi. Semua bisa diatur dengan UANG atau materi.
Penulis yang juga Ketua Umum Pasaribu Dunia, dimana Pasaribu adalah marga tertua Batak (Baca: Saribu Raja). PPRPI (Punguan Pomparan Raja Pasaribu Indonesia) sebagai perkumpulan marga Pasaribu, Boru, Bere/ Ibebere, perlu ikut bertanggung jawab memelihara habatakon khususnya yang tidak bertentangan dengan kekristenan.
Ada juga perkumpulan marga lain, Batak Center, LABB, HKBP, dan sebagainya, juga perlu kembali bersatu untuk melestarikan Budaya Batak. Semua peninggalan leluhur kita termasuk simbol-simbol Habatakon yang disimpan di negara lain harus dikembalikan dan kita simpan di sebuah Museum Batak yang kita bangun di kaki gunung Pusuk Buhit, Sianjur Mula-mula.
Jangan lagi kita sibuk mempertentangkan Habatakon dengan Agama atau Kekristenan. Keduanya harus saling memperkuat dan membentuk manusia Unggul Batak yang berahlak mulia, berTuhan, Beradat, Taat hukum, terampil/ profesional, dan adaptif terhadap kemajuan teknologi.
Pembangunan adalah seni membangun peradaban. Kita harus menjadi bagian penting dari upaya memelihara dan mengembangkan manusia Batak yang unggul. Membangun peradaban dengan mengakomodasi Budaya Batak yang tidak bertentangan dengan kekristenan adalah tantangan terbesar bangso Batak, generasi kini dan yang akan datang. Batak perlu bersatu dan saling berkolaborasi.
Semoga bermanfaat.