Matanurani, Jakarta – Pandemi virus corona (Covid-19) yang kini merebak di berbagai penjuru dunia telah membuat ekonomi global luluh lantak. Pada kuartal pertama tahun 2020 saja, ekonomi negara-negara G20 banyak yang mengalami kontraksi.
Dampak pandemi Covid-19 yang kini menginfeksi lebih dari 3 juta orang di berbagai penjuru dunia memang dahsyat. Krisis ekonomi yang timbul pun berbeda dari krisis-krisis sebelumnya. Jika dua krisis sebelumnya (dot com bubble & 2008 global financial crisis) murni karena fenomena di sektor keuangan, krisis kali ini justru dipicu oleh fenomena di lapangan yang merembet ke mana-mana.
Pandemi Covid-19 menyerang faktor produksi dari ekonomi itu sendiri yakni manusia. Orang yang terinfeksi virus corona akan mengalami gangguan sistem pernapasan dengan gejala seperti batuk, sesak napas, nyeri dada hingga pneumonia. Virus ini menyebar dengan sangat cepat. Banyak negara memilih opsi lockdown untuk menekan penyebaran virus.
Namun opsi lockdown harus dibayar mahal. Dengan adanya lockdown di berbagai berbagai belahan dunia terutama di negara-negara anggota G20 seperti AS, Italia, Spanyol, Perancis, China, hingga Singapura aktivitas perekonomian pun terhambat.
Dalam kondisi lockdown, orang-orang dilarang keluar rumah dan beraktivitas seperti biasa, pabrik dan perkantoran banyak yang tutup atau beroperasi tetapi tidak dengan kapasitas penuh. Akibatnya produksi menurun, rantai pasok menjadi terganggu dan permintaan melemah.
Fenomena ini lah yang menjadi ancaman terbesar bagi perekonomian yang kemudian disebut oleh Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai The Great Lockdown dalam laporannya.
Konsekuensi lockdown terhadap perekonomian terlihat jelas ketika banyak negara G20 mulai merilis angka keramatnya (pertumbuhan ekonomi) kuartal pertama tahun 2020 ini. Sebagai informasi, output perekonomian negara-negara G20 menyumbang lebih dari 80% Produk Domestik Bruto (PDB) global sehingga melihat kontraksi yang terjadi di banyak negara G20 bisa memberikan gambaran bahwa ekonomi global memang sedang suram.
Pertama tengoklah Paman Sam. Pada kuartal pertama 2020, ekonomi AS mengalami kontraksi 4,8% (annualized). Ini merupakan kontraksi terdalam sejak 2008 dan menjadi kontraksi pertama sejak 2014. Angka pengangguran di AS pun melonjak tajam. Sejak 21 Maret sudah ada 30,3 juta orang yang mengajukan klaim pengangguran di AS.
Beralih ke Eropa, mengacu pada data Trading Economics, perekonomian zona Eropa mengalami kontraksi 3,3% secara year on year (yoy) pada kuartal pertama 2020 ini. Negara-negara yang terjangkit Covid-19 dan menerapkan lockdown besar-besaran di Eropa seperti Spanyol, Itaia dan Perancis harus merasakan perekonomiannya anjlok signifikan.
Ekonomi Negeri Matador ambles 4,1% (yoy) pada 1Q20, jauh lebih rendah dari estimasi pasar yang memperkirakan angka kontraksinya hanya minus 3,2%. Kontraksi yang terjadi di Spanyol merupakan yang terdalam sejak kuartal kedua 2009.
Beralih ke negara asal Liga Serie A, setelah PDB-nya tumbuh 0,1% pada kuartal ke-IV 2019, ekonomi Italia harus terkontraksi sebesar 4,8% (yoy) pada 1Q20 akibat dirongrong oleh virus ganas yang membuat Italia melakukan lockdown nasional sejak Maret lalu. Akibatnya ekonomi Italia harus menderita kontraksi terdalam sejak kuartal ketiga tahun 2003.
Senasib dengan Spanyol dan Italia, Perancis juga mencatatkan kinerja perekonomian yang buruk. Ekonomi Perancis mengalami kontraksi 5,4% (yoy) pada 1Q20 ini. (Cnb).