Home News Petani Sawit Surati Jokowi, Sebut Tata Kelola Minyak Goreng Tak Becus

Petani Sawit Surati Jokowi, Sebut Tata Kelola Minyak Goreng Tak Becus

0
SHARE

Matanurani, Jakarta – Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) mengirimkan surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo. Mereka meminta agar kebijakan minyak goreng harus segera dituntaskan.

Presiden Jokowi dianggap belum bertindak dengan serius terkait kebijakan sawit dan turunannya sehingga berdampak pada hidup dan nasib petani sawit.

APPKSI menyebut, kebijakan DMO dan DPO jadi penyebab ekspor CPO yang lamban sehingga turut membuat harga komoditas sawit turun. Mereka lantas menuntut pemerintah segera mencabut aturan DMO dan DPO.

“Bagaimana nasib kami pak. Harga tandan buah segar jatuh, tolong bapak tanggung jawab,” tulis APPKSI melalui keterangan resmi mereka, Rabu (29/6).

Petisi kepada Presiden Jokowi disebabkan karena ketidakbecusan dalam tata kelola minyak goreng dan turunannya mengakibatkan nasib petani plasma makin tidak jelas.

“Bersama ini kami sampaikan Petisi kepada Presiden Jokowi akibat ketidak becusan dalam tata Kelola minyak goreng dan turunannya telah meyebabkan nasib kami para petani plasma sawit makin tidak jelas dalam mencari nafkah di negara yang menjadi penghasil CPO terbesar di dunia,” tulis Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia, dalam surat terbuka.

Kekiniaan hargaTBS rata-rata turun hingga berkisar di angka Rp1.000 per kg. Per 26 Juni 2022, harga TBS di 10 provinsi wilayah anggota SPKS berkisar Rp 500-1.070 per kilogram.

Petani sawit diperkirakan merugi hingga Rp 1,5-juta  Rp 2 juta per ha setiap bulan. Sedangkan kerugian petani sawit swadaya  dari bulan April-Juni ini diperkirakan mencapai Rp 50 triliun.

“Saat ini, harga TBS jatuh tinggal Rp 500 s/d 1.000 per kilogram,” terang surat terbuka tersebut.

APPKSI sendiri sudah meminta Pemerintah segera bergerak agar harga TBS kembali normal sesuai harga CPO dunia dengan mencabut aturan DMO (domestic market obligation) dan DPO (domestic price obligation).

Diharapkan, pencabutan aturan itu membuat ekspor CPO semakin mudah dan menghindari kerugian dampak CPO yang menumpuk di gudang. Penumpukan itu juga berimbas pada potensi komoditas busuk sehingga semakin merugikan.(Sua).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here