Home News Pemerintah Diminta Tak Bedakan Gula Kristal Putih dan Rafinasi

Pemerintah Diminta Tak Bedakan Gula Kristal Putih dan Rafinasi

0
SHARE

Matanurani, Jakarta — Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia Adhi S. Lukman mengusulkan agar pemerintah tak perlu lagi memberikan perlakuan yang berbeda terhadap tata niaga gula kristal putih dan gula kristal rafinasi.

 “Karena selalu di negara ini yang menjadi korban adalah industri. Kalau usulan saya lebih baik tidak usah ada lagi pembedaan gula kristal putih dengan gula kristal rafinasi, lebih baik dihapus saja supaya tidak menimbulkan distorsi,” katanya di Jakarta, Selasa (12/12).

Adhi berpendapat pembedaan penggolongan terhadap komoditas gula tersebut kerap menimbulkan berbagai persepsi negatif kepada industri. “Saya berani pastikan kepada pemerintah, industri tidak pernah sekalipun overstock. Industri makanan minuman selalu memakai gulanya sesuai kebutuhan,” ujarnya.

Pemerintah memperkirakan konsumsi gula mentah untuk kebutuhan industri mencapai 3,6 juta ton pada tahun depan. Proyeksi tersebut lebih tinggi 6% ketimbang konsumsi gula mentah kebutuhan industri tahun ini sebesar 3,4 juta ton.

Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto menyatakan proyeksi pertumbuhan konsumsi berada di bawah proyeksi pertumbuhan industri makanan minuman sebesar 7%—8%.

“Kita tidak mengambil angka yang terlalu agresif. Pemerintah mengindikasikan pertumbuhan konsumsinya sekitar 5%—6%,” ujarnya di sela Musyawarah Nasional VI Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia di Jakarta, Selasa (12/12).

Sebagai gambaran, kebutuhan gula nasional sepanjang 2016 mencapai 5,7 juta ton. Sebanyak 2,9 juta ton di antaranya merupakan kebutuhan industri. Sisanya sebanyak 2,8 juta ton merupakan konsumsi masyarakat.

Produksi gula pada 2016 hanya mencapai 2,2 juta ton. Sebanyak 1,2 juta ton di antaranya merupakan hasil produksi BUMN, dan sisanya sebanyak 999.600 ribu ton merupakan produksi swasta. Pada tahun ini, produsen BUMN ditarget memproduksi sebanyak 1,6 juta ton gula.

Selisih permintaan dengan realisasi produksi sebesar 4,2 juta ton pada tahun lalu itu akhirnya terpenuhi impor. Pada tahun ini, selisih tersebut diperkirakan semakin melebar lantaran realisasi produksi tak sesuai harapan. “Dari indikasinya, produksi tahun ini jauh lebih rendah dari tahun lalu,” ujar Panggah.

Asisten Deputi Bidang Perkebunan dan Hortikultura Kemenko Perekonomian Willystra Danny memproyeksikan kebutuhan gula konsumsi dan industri mencapai 6,8 juta ton pada 2020.

“Kebutuhan terus meningkat, tetapi produksinya terus menurun. Gap yang semakin melebar itu menjadi alasan mengapa impor raw sugar terus meningkat,” ujarnya.(Bis).

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here