Oleh : Benny Pasaribu
KENAIKAN Harga beras cenderung bikin masyarakat menghadapi masalah sulit. Kebijakan pemerintah ini pun berdampak pada berbagai tren perubahan kehidupan sosial-ekonomi yang mengkhawatirkan.
Pemerintah kurang tepat memilih kebijakan waktu dan jumlah impor. Alasan Elnino menjadi klasik dan kementerian terkait pun tampak membeo juga.
Padahal penurunan dan kenaikan produksi itu sangat dipengaruhi oleh kebijakan harga di tingkat petani (insentif atau disinsentif). Pemerintah tanpa melakukan survey tentang stok dan produksi beras tiba- tiba menyimpulkan perlu impor jutaan ton. Proses berfikir seperti ini sangat keliru dan mengambil keputusan impor..
Memang pada bulan- bulan tertentu terjadi defisit dibanding produksi karena musiman. Biasanya defisit terjadi pada bulan Oktober sampai Februari tahun berikutnya.
Tapi dengan keadaan stok yang cukup seharusnya bisa mengatasi defisit tersebut. Stok pemerintah harus dikeluarkan untuk menambah ketersediaan beras di pasar pada bulan² defisit tersebut. Harga beras akan tetap stabil.
Kebijakan harga di tingkat petani (dulu disebut Harga Dasar) sangat menentukan jumlah produksi. Jika menguntungkan, petani akan semangat berproduksi.
Kepastian harga gabah saat panen harus dijamin oleh pemerintah. Sayangnya, Bulog sejak reformasi tidak peduli lagi pada stabilitas harga beras dan lebih mengutamakan profit.
Ke depan diharapkan ada kebijakan harga yang tepat sebagai insentif bagi petani untuk berproduksi. Harga dasar sangat diperlukan untuk melindungi petani. Subsidi harga pupuk bisa dikompensasi dengan kenaikan harga gabah. Bulog harus lebih fokus pada stabilitas harga di tingkat petani dan konsumen di seluruh tanah air Indonesia. Semoga.
Penulis adalah pegiat pertanian dan aktifis HKTI