Matanurani, Jakarta – Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia berceramah panjang lebar mengenai UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Hal ini disampaikan di sela acara silaturahmi dan dialog virtual, yang diselenggarakan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Selasa (13/10).
Bahlil menggarisbawahi bahwa kewenangan pemerintah daerah terkait perizinan tidak seluruhnya ditarik ke pemerintah pusat. Meski begitu, pemerintah pusat menetapkan kebijakan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK).
“Dengan UU ini NSPK kita langsung terbitkan. Izin daerah tidak ditarik, sama sekali tidak. Semua kewenangan daerah tetap ada namun disertai dengan NSPK. Dan NSPK ini kita buat lewat PP. Kemudian izin dilakukan lewat elektronik, jadi berbasis elektronik yang digabungkan dalam OSS (Online Single Submission),” ujar Bahlil.
Ia mengatakan bahwa ini dilakukan untuk memudahkan perizinan berusaha. Menurutnya, pengusaha hanya butuh 4 hal, yakni kemudahan, kepastian, efisiensi, dan kecepatan.
“Contoh misal izin lokasi. Izin lokasi ini dulunya kan banyak bupati, gubernur, yang mohon maaf tidak punya instrumen untuk memberikan kepastian kepada pengusaha. Nah, inilah kemudian NSPK ini kita buat contohnya 1,5 bulan silakan bapak-bapak mengeluarkan izin 1,5 bulan itu. Kemudian kalau 1,5 keluar maka NSPK itu dianggap setuju izinnya, jadi kita keluarkan berdasarkan peta RTRW yang ada di Kementerian ATR karena data itu semuanya akan dimasukkan ke dalam OSS,” tandas Bahlil.
Dengan sistem elektronik, urusan perizinan juga dapat memperpendek dan memperkecil hubungan antara pengusaha dengan pejabat. Ini kata Bahlil diperlukan untuk pencegahan terjadinya potensi korupsi.
“Karena kalau izin ditahan-tahan, pengusaha itu banyak akalnya. Ada saja dilakukan dan pengusaha yang hebat dalam bahasa saya cuma 2 bagaimana caranya. Bagaimana mensiasati aturan atau menaklukkan pejabat. Biasanya begitu, mudah-mudahan tidak terjadi seperti itu. Itu pengalaman saya sebenarnya,” urainya.
Bahlil juga menegaskan bahwa UU ini berpihak kepada UMKM. Betapa tidak, izin untuk UMKM tidak lagi seperti izin ketika mereka mendirikan perusahaan.
“UMK (Usaha Mikro dan Kecil) itu cukup dengan satu lembar, bukan yang menengah. Kalau yang menengah itu kan pendapatannya sudah di atas Rp 10 miliar. UMK saja itu isinya 1 lembar tidak perlu ada notifikasi,” tuturnya.
Adapun mengenai Amdal, dengan aturan baru maka ada perbedaan antara usaha risiko ringan dan risiko tinggi. Untuk usaha risiko ringan menurutnya tidak perlu pakai Amdal tapi hanya perlu surat pernyataan.
“Kalau yang menengah itu pakai UPL, yang berat itu pakai AMDAL. Tapi birokrasi Amdalnya kita jangan lagi seperti sekarang ambil konsultan kemudian ada oknum yang mengusulkan, kadang-kadang pengalaman saya nomor izin ambil aja satu sampai satu setengah tahun, kalau di luar negeri sudah produksi,” urainya.(Cnb).