Matanurani, Jakarta — Pascakrisis moneter 1998, inflasi menjadi perhatian utama pemerintah agar tidak menurunkan daya beli masyarakat dan menambah angka kemiskinan.
Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana menyatakan, pencatatan inflasi pada krisis 1998 yang mencapai 77,6 persen memberikan pemerintah arahan utama untuk menjaga stabilitas ekonomi dengan menjaga inflasi.
Menurut Wisnu, berkaca dari kelahiran Undang-Undang Bank Indonesia yang memberikan independensi pada bank sentral adalah bentuk tata kelola ekonomi baru.
Wisnu menilai, presiden masa itu, B.J. Habibie dan tim ekonominya memberikan independensi bank sentral bukan semata untuk menjaga stabilitas nilai tukar tetapi tujuannya lebih untuk menjaga inflasi.
“Ada 3 hal yang tidak bisa dikerjakan bersama dalam satu struktur ekonomi yaitu bank sentral independen, arus modal keluar masuk secara bebas, dan nilai tukar fixed. Sementara zaman Orde Baru nilai tukar kita fixed, dan arus modal keluar masuk bebas sehingga kebijakan moneter tak independen seperti sekarang,” jelas Wisnu, Minggu (15/9).
Wisnu menyatakan nilai tukar yang fixed dan bank sentral yang tak independen menciptakan ruang volatilitas yang membuat kebijakan moneter tidak bisa banyak bergerak.
Belajar dari krisis dengan inflasi hingga 77,6 persen, maka setelah reformasi Habibie dan tim ekonomi mengubah nilai tukar tak bisa fixed.
Untuk bisa memiliki nilai tukar tetap atau fixed Indonesia harus seperti China yang memiliki cadangan devisa besar.
Oleh sebab itu, bank sentral China dengan cadangan devisa besar, ketika outflow, harus mengeluarjan cadangan devisa.
“Sebelumnya BI tak punya, sekarang BI independen jaga makro stabilitas nilai tukar bebas,” terang Wisnu.
Sehingga fokus bank sentral yang sebelumnya menjaga nilai tukar tak melejit, setelah reformasi nilai tukar tak bisa ditahan di kisaran Rp2.500 seperti dulu.
“Kini target BI bukan hanya nilai tukar tapi inflasi yang rendah. Jadi kebijakan moneter BI diarahkan supaya inflasi masuk ke target mereka,” papar Wisnu.
Alhasil kebijakan suku bunga juga diarahkan menjaga target inflasi, begitu pula nilai tukar yang bergerak terus dijaga dan harus diarahkan agar tidak berimbas ke inflasi.
Dilansir dari data Perkembangan Ekonomi Indonesia dan Dunia Triwulan II/2019 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), inflasi mengalami kenaikan pada kuartal II/2019.
Selama April-Juni 2019, inflasi tahunan (yoy) mencapai 2,83 persen, 3,32 persen, dan 3,28 persen, yang secara umum masih berada dalam rentang target yang ditetapkan sebesar 3,5 ± 1 persen.
Secara bulanan (mtm), pergerakan inflasi April-Juni 2019 sebesar 0,44 persen, 0,68 persen, dan 0,55 persen.
Adapun kenaikan inflasi umum utamanya disumbang oleh peningkatan inflasi bahan pangan akibat peningkatan konsumsi rumah tangga terhadap beberapa komoditas pangan pada momen perayaan Hari i Raya Idulfitri.
Inflasi volatile foods (mtm) menunjukkan kenaikan lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2018. Inflasi volatile food(mtm) pada April-Juni berturut-turut mencapai 1,59 persen, 2,18 persen, dan 1,70 persen.
Selain hari raya keagamaan, peningkatkan inflasi volatile fooddipicu berakhirnya masa panen April 2019. Turunnya jumlah pasokan di pasar berdampak terhadap peningkatan harga komoditas pangan utama termasuk aneka cabai.
Secara tahunan (yoy), inflasi volatile foods masing-masing sebesar 2,05 persen, 4, 08 persen, dan 4,91 persen. Komponen inflasi inti (mtm) mengalami peningkatan dari April-Juni 2019, masing-masing sebesar 0,17 persen, 0,27 persen, dan 0,38 persen. (Bis).