Matanurani, Jakarta – Guna mengatasi problem industri yang belum mendapat suplai tenaga kerja yang memadai, pemerintah kini tengah mengkaji pemberian insentif fiskal bagi dunia usaha yang membantu pengembangan vokasi tenaga kerja di dalam negeri.
“Bagi dunia usaha kalau mereka memberi skill produksi, perlu tidak sih kami beri insentif fiskal, ini yang kami fikirkan. Misal, Panasonic punya inhouse training, ini kan buat internal mereka, nah mau enggak mereka buka buat non-internal nanti kami kasih pengurangan pajak,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara
Hal itu disampaikannya dalam Roundtable Discussion bertajuk “Human Capital-Menjawab Tantangan Dunia Pendidikan Dalam Menghasilkan SDM yang Unggul”, yang diselenggarakan dalam rangka Pre-Event Pertemuan Tahunan IMF-World Bank Group 2018 di Lantai 6 Gedung Djuanda 1, Kementerian Keuangan, Rabu (12/9).
World Bank akan merilis ranking Human Capital Index (HCI) 2018 pada saat gelaran Annual Meeting IMF-World Bank 2018 di Nusa Dua, Bali pada 8-14 Oktober mendatang.
Indeks baru tersebut akan menjadi logika baru dalam mengukur kualitas sumber daya manusia secara global, setelah sebelumnya juga dikenal Human Development Index (HDI) dari United Nations Development Programme (UNDP).
Suahasil mengatakan, gelaran acara besar IMF-WB di Bali tersebut akan menjadi kesempatan bank Bank Dunia untuk merilis indeks acuan tersebut.
“UNDP keluarkan HDI yang dipakai terus sampai sekarang. Nah Bank Dunia, sejak 2-3 tahun terakhir, memang memikirkan logika berbeda, Human Capital Index, jadi human enggak sekadar fisik, tapi dia menjadi the next capital. Nanti akan keluar ranking Indonesia yang baru untuk HCI di Bali,” kata Suahasil.
Ia mengatakan, isu human capital menjadi sangat penting dan akan menjadi salah satu tema yang akan dibahas dalam side event di Annual Meeting IMF-World Bank 2018, selama 8-14 Oktober mendatang, selain isu perempuan dan digital economy.
Sebagai catatan, akan digelar sekitar 2.000-3.000 pertemuan dalam bentuk seminar, workshop, hingga pertemuan kelompok-kelompok kecil.
Pada acara ini, Rektor Universitas Atma Jaya Jakarta, A. Prasetyantoko mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi tantangan bersama ke depan.
Menurutnya, jika merujuk laporan Bank Dunia, ada miss match antara higher education di perguruan tinggi dan kebutuhan pasar.
“Fenomena ini ada, tapi sampai sekarang belum ada solusi formulasi. Kita tahu lulusan pendidikan itu cukup tinggi, cuma yang kualifikasi yang dibutuhkan pasar enggak banyak. Problem ini harus diselesaikan,” ujarnya.
“Maka itu, universitas yang belum punya background industri bisa didorong supaya ada vokasi sejak awal, seperti halnya kampus dengan background vokasi misal Podomoro, dan UMN,”.
Ia juga menyoal tingginya disparitas kualitas lulusan perguruan tinggi. Ambil contoh kampus-kampus yang masuk klaster 100 perguruan tinggi yang terbaik, bandingkan dengan kampus lain, secara kualitas lulusan berbeda jauh karena perguruan tinggi yang baik didukung dana riset dan lainnya.
Sedangkan Direktur SDM PT Pertamina, Kushartanto Koeswiranto, menyoroti tantangan selama ini adalah kesulitan SDM.
“Bisa dikatakan kami desperate (putus asa) dari sisi user. Di Pertamina kami butuh 66.000, misalnya, yang dapat cuma 22.000, ini belum kami me-manage talent millenial yang tidak sesederhana,” cetusnya.
Sebab itu, dia menegaskan perlu ada fleksibilitas yang perlu didukung oleh dunia usaha agar bisa mengejar kecepatan kebutuhan dunia usaha. Dia mempertanyakan apakah perubahan dalam implementasi Industri 4.0 sudah bisa direspons dengan cepat oleh perguruan tinggi.Jika pola pendidikan lambat merespons akan dibayar mahal dengan indeks HCI yang rendah.
Dia juga menekankan pentingnya agar perguruan tinggi fokus juga pada program magang mengingat selama ini beberapa perguruan tinggi justru tidak siap dan terlalu terkungkung aturan dalam penerapan magang.(Ktn).