Matanurani, Jakarta – Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan turut menyoroti berbagai tindakan kriminal yang dilakukan oleh oknum TNI belakangan ini.
Ia menegaskan, memang UU Nomor 34 Tahun 2004 mengamanatkan tentara harus tunduk pada peradilan militer, ketika berkenaan dengan tugas kemiliteran, tapi semestinya jadi Lain cerita jika terkait tindak pidana umum.
Dia pun mendorong agar DPR dan pemerintah segera merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer.
“Memang kalau kita merujuk ke UU TNI termasuk UU TNI yang lama yang direvisi itu, pasal 65 ayat (2) itu kan sudah jelas, tentara tunduk pada kekuasaan peradilan militer ketika dia melakukan pelanggaran hukum militer yang berkenaan dengan tugas-tugas kemiliteran yang bersangkutan. Tapi ketika dia melakukan tindak pidana umum, maka dia harus tunduk pada kekuasaan peradilan umum, itu sudah tegas di situ,” tutur Halili dikutip Jumat (28/3).
Halili menyatakan, tidak tunduknya prajurit TNI aktif kepada peradilan umum, akan berdampak terhadap dua hal yakni impunitas dan superioritas TNI di atas hukum.
Terkait dampak yang pertama yakni impunitas, adanya ketiadaan penegakan hukum, ketiadaan pemberian keadilan bagi korban karena tidak dihukumnya pelaku, tidak diberinya sanksi bagi pelaku. Halili mengingatkan, jika terjadi impunitas, maka sama saja membuka pintu bagi terjadinya kejahatan lebih lanjut yang sama atau bahkan lebih fatal berikutnya.
“Maka kalau kita melihat begitu banyak kasus di mana tentara itu tidak dihukum secara adil dan tidak memberi efek jera, ya itulah yang terjadi, karena pidana atau pelanggaran hukum yang sebenarnya tidak berkaitan dengan tugas-tugas kemiliteran, itu justru ditangani dengan peradilan militer,” ungkapnya.
Kedua, terkait superioritas TNI di atas hukum. Ia menjelaskan demokrasi pada dasarnya memiliki dua sendi utama, pertama supremasi sipil, kedua supremasi hukum.
“Tapi karena TNI aktif itu diposisikan sebagai superior atas hukum, maksudnya dalam cara meletakkan peradilan terhadap mereka itu sebagian besar hanya di peradilan militer, atau ya kalau kita merujuk pada KUHAP ya peradilan koneksitas dan itu juga ada militer juga di situ,” jelas Halili.
“Jadi perasaan superior di atas hukum itu tentu berdampak buruk bagi penegakan hukum dan bagi desain demokrasi konstitusional di Indonesia secara umum,” tandasnya.
Sebagai informasi, berbagai peristiwa kriminal belakangan ini melibatkan peran prajurit TNI aktif, seperti kasus penembakan bos rental mobil yang terjadi di rest area KM45, Tol Tangerang-Merak, Jayanti, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (2/1/2025) lalu. Saat ini, oknum TNI yang terlibat telah divonis hukuman seumur hidup.
Kemudian dua oknum TNI menembak tiga personel polisi yang sedang menggerebek judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Lampung, Senin (17/3).
Dan terbaru, jurnalis media online asal Banjarbaru, Kalimantan Selatan (Kalsel), Juwita (23) yang ditemukan tewas di Jalan Gunung Kupang, Kabupaten Banjar diduga merupakan korban pembunuhan.
Komandan Polisi Militer Lanal Balikpapan Mayor Laut (PM) Ronald L. Ganap mengatakan korban diduga dibunuh oleh oknum anggota TNI AL berinisial J.
Ronald mengatakan pembunuhan Juwita terjadi di Jalan Gunung Kupang, Kabupaten Banjar. “Benar, pembunuhan dilakukan oknum TNI AL pangkat I berinisial J,” ujar Ronlad seperti dikutip, Rabu (26/3).
Menurutnya, pelaku pembunuhan sudah berdinas di TNI AL selama empat tahun. Saat Polisi Militer masih mendalami hubungan keduanya. “Perkembangan akan kami sampaikan,” ujarnya. (Ini).