Matanurani, Yogyakarta – Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mendorong pemerintah untuk terus berada di jalan lurus dalam mewujudkan Ekonomi Pancasila. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) tengah berupaya mewujudkannya sehingga perlu didukung terutama oleh para menteri melalui programnya.
Menurut Arif, Ekonomi Pancasila merupakan sistem pengaturan hubungan antara negara dan warga negara yang ditujukan untuk memajukan kemanusiaan dan peradaban, memperkuat persatuan nasional melalui proses usaha bersama dengan melakukan distribusi akses ekonomi yang adil bagi seluruh warga negara.
“Kebijakan perekonomian harus didorong untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan separuh-separuh,” tegas Arif dalam keterangan tertulis dari KEIN, Minggu (23/7).
Arif mengatakan itu kepada wartawan usai menjadi pembicara dalam rangkaian kegiatan ‘Kongres Pancasila IX’ di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (22/7).
Ada tiga pilar penting dalam Ekonomi Pancasila. Pertama, pembangunan ekonomi harus berorientasi keadilan. Kedua, ekonomi digagas untuk memberikan pemerataan pembangunan dan mempersatukan bangsa. Ketiga, semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan kesempatan sama.
Kendati demikian, kata Arif, tantangan mewujudkannya sangat besar. “Perekonomian Indonesia masih dikuasai oleh segelintir elit,” ujarnya.
Tantangan itu, antara lain seperti ditunjukkan oleh laporan Credit Suisse 2016. Laporan lembaga keuangan tersebut menyampaikan bahwa 1% penduduk terkaya Indonesia menguasai 49,3% kekayaan nasional dan 10% penduduk terkaya menguasai 75,7% kekayaan nasional.
Kondisi tersebut sejalan dengan data yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Data per April 2017 menyebutkan, sekitar 57,6% total simpanan yang ada di perbankan Indonesia dikuasai oleh sekitar 0,12% masyarakat terkaya Indonesia.
Tantangan lainnya yakni sebaran pembangunan yang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hingga tahun 2016, data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto nasional masih didominasi oleh Pulau Jawa, yang sekitar 58%.
Di tengah situasi tersebut, kata Arif yang juga menjabat Direktur Megawati Institute, pemerintah tengah berupaya mendorong pembangunan dari pinggiran melalui pengadaan infrastruktur. “Melalui kebijakan ini, dalam jangka menengah dan panjang baru akan terlihat hasilnya. Kontribusi wilayah di luar Jawa akan semakin besar, sehingga pemerataan bakal meningkat,” ucapnya.
Sedangkan terkait dengan keadilan sosial, Arif mengungkapkan, ada sejumlah hal yang telah dilakukan oleh pemerintah dan harus didorong terus. Misalnya, kebijakan redistribusi aset melalui program reforma agraria.
“Ini kebijakan baik, yang pelaksanaannya harus diawasi oleh segenap komponen bangsa agar sesuai dengan tujuan yang diamanatkan oleh Presiden,” katanya.
Sedangkan sejumlah program yang telah terlihat keberhasilannya, antara lain terkait kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2017 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan telah turun menjadi 10,64%, lebih rendah dibandingkan September dan Maret 2016 yang masing-masing 10,70% dan 10,86%. Tingkat ketimpangan juga mulai menyempit.
Pada Maret 2017, indeks gini yang menjadi indikator ketimpangan telah turun menjadi 0,393, dari 0,394 pada September 2016. “Ini menunjukkan kebijakan pemerataan yang didorong oleh Jokowi mulai menunjukkan hasil,” tutur Arif.
Bahkan pada 2017, pemerintah mampu mengurangi tingkat pengangguran yang sangat drastis. Per Februari 2017, data BPS menyebutkan, tingkat pengangguran hanya 5,3% lebih rendah dibanding Februari dan Agustus tahun sebelumnya yang masing-masing 5,5% dan 5,6%.
“Tingkat pengangguran tersebut merupakan yang terendah sejak 18 tahun terakhir atau sejak 1999,” paparnya.
Karena itulah, Arif mengimbau agar segenap bangsa memberikan dukungan bagi kebijakan Jokowi yang tengah mewujudkan semangat Ekonomi Pancasila. Begitu juga dengan para menteri, dia mengharapkan bahu-membahu untuk melahirkan kebijakan yang kreatif dalam mendukung percepatan pencapaian keadilan ekonomi bagi rakyat Indonesia.
Jangan sampai, kata dia, justru melahirkan kebijakan yang kontraproduktif. Pada kebijakan utang misalnya, seharusnya dapat dikoversi menjadi aset produktif yang memberikan manfaat ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat dalam jangka panjang.
“Jangan sampai utang hanya untuk tambal-sulam sehingga menjadi beban di masa mendatang,” tegasnya. (Det).