Home Nasional Data Ekonomi RI Oke Tapi PHK di Mana-Mana, Kok Bisa?

Data Ekonomi RI Oke Tapi PHK di Mana-Mana, Kok Bisa?

0
SHARE

Matanurani, Jakarta – Pemerintah sempat kebingungan, di tengah-tengah data-data ekonomi Indonesia baik-baik saja, namun pemutusan hubungan kerja (PHK) marak, hingga menyebabkan daya beli masyarakat Indonesia turun.

Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Edi Priyono mengatakan, kondisi ini terjadi tatkala pemerintah menerima data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia per kuartal II-2024 masih tumbuh di level 5,05%.

Lalu inflasi terjaga di kisaran 2,13% hingga kemiskinan turun menjadi di level 9,09%. Indeks ketimpangan atau gini ratio pun kata Edi datanya makin mendekati nol, yakni hanya sebesar 0,379.

Namun, di sisi lain, pemerintah juga menerima data PHK yang makin marak. Berdasarkan data kementerian ketenagakerjaan (kemnaker), pada periode Januari-Juni 2024 terdapat 32.064 orang tenaga kerja yang terkena PHK. Angka tersebut naik 21,4% dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang.

“Dari awal ketika kita melihat bahwa pertumbuhan kita baik, tapi kemudian ada banyak PHK di sana-sini. Tapi di sisi lain kemiskinan kita turun, kita juga mempertanyakan dalam arti, kok begini ya?” kata Edi dalam program Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Kamis (8/8).

Karena data yang muncul itu bersinggungan, Edi mengatakan, pemerintah pun menugaskan tim ke BPS untuk melihat lebih detail sumber masalahnya. Akhirnya ditemukan sumber masalahnya terletak pada mulai ambruknya daya beli kelas menengah, hingga terjadi penyusutan jumlah kelas menengah di Indonesia.

“Dan ternyata memang jawabannya ada di situ. Jadi ada penurunan, katakanlah penurunan pendapatan di kelompok yang bukan kelompok miskin, tapi juga bukan kelompok kaya. Itulah kelas menengah,” kata Edi.

Oleh sebab itu, Edi memastikan, pemerintah akan semakin memfokuskan kebijakan-kebijakan yang kembali menggeliatkan aktivitas ekonomi kelas menengah tersebut, tidak lagi hanya fokus kelas bawah melalui program bantuan sosial, dan kelas atas melalui insentif pajak atau insentif fiskal.

“Dan itu yang tadi saya bilang dari awal, bahwa ini kelompok yang memang perlu mendapatkan perhatian lebih besar dibandingkan sebelumnya. Meskipun sampai saat ini juga bukan berarti tidak ada perhatian sama sekali,” ucap Edi.

Sejak jauh-jauh hari, kalangan ekonomi pun sebetulnya telah memperingatkan pemerintah bahwa kelas menengah di Indonesia saat ini tengah tertekan. Masalah ini bisa menjadi sumber permasalahan baru bagi perekonomian Indonesia secara besar karena jumlahnya kian merosot padahal mereka menjadi penyumbang pajak terbesar.

Ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan era 2013-2014 Chatib Basri mengungkapkan jumlah kelas menengah di Indonesia terus merosot sejak 2019. Menurutnya, data Bank Dunia mengungkapkan pada 2018, kelas menengah sebesar 23% dari jumlah penduduk sedangkan 2019 tersisa 21% seiring membengkaknya kelompok kelas menengah rentan atau aspiring middle class (AMC) dari 47% menjadi 48%.

“Kecenderungan ini terus terjadi. Tahun 2023, kelas menengah turun menjadi 17%, AMC naik menjadi 49%, kelompok rentan meningkat menjadi 23%. Artinya sejak 2019, sebagian dari kelas menengah “turun kelas” menjadi AMC dan AMC turun menjadi kelompok rentan,” tutur Chatib.

Dengan garis kemiskinan tahun 2024 sekitar Rp 550.000, Chatib menjelaskan mereka dengan pengeluaran Rp 1,9 juta-Rp 9,3 juta per bulan masuk kategori kelas menengah. AMC adalah kelompok pengeluaran 1,5-3,5 kali di atas garis kemiskinan atau Rp 825.000-Rp 1,9 juta. Adapun rentan miskin, kelompok pengeluaran 1-1,5 kali di atas garis kemiskinan atau Rp 550.000-Rp 825.000 per bulan.

Sementara itu, dalam kajian LPEM FEB UI bertajuk “Rentannya Mesin Pertumbuhan Ekonomi” terungkap bahwa kelas menengah menjadi penopang utama setoran pajak pemerintah, mulai dari pajak penghasilan, pajak properti, serta pajak kendaraan bermotor. Maka, ketika porsi mereka merosot dalam perekonomian akan mempengaruhi besaran penerimaan negara.

Dalam Seri Analisis Makroekonomi Indonesia Economic Outlook Kuartal III-2024 itu, Tim Kajian Makroekonomi, Keuangan, dan Ekonomi Politik LPEM FEB UI mengungkapkan peran kelas menengah terhadap penerimaan negara mencapai 50,7%, dan 34,5% berasal dari calon kelas menengah atau AMC.

“Kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara, menyumbang 50,7% dari penerimaan pajak,” dikutip dari kajian yang disusun Jahen F. Rezki, Teuku Riefky, Faradina Alifia Maizar, Muhammad Adriansyah, dan Difa Fitriani itu, Kamis (8/8).

Kontribusi ini menurut tim LPEM FEB UI sangat penting untuk mendanai program pembangunan publik, termasuk investasi infrastruktur dan sumber daya manusia. Untuk mendukung investasi tersebut, sangat penting untuk menjaga daya beli, baik kelas menengah maupun calon kelas menengah.

“Jika daya beli mereka menurun, kontribusi pajak mereka mungkin berkurang yang berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan,” tulis tim LPEM FEB UI.(Cnb).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here