Matanurani, Jakarta – Terkait kedaulatan pangan, Serikat Petani Indonesia (PI) menyoroti sejumlah fenomena yang sangat merugikan petani sepanjang 2024. Impor pangan dipermudah, harga pangan tak stabil dan maraknya privatisasi, liberalisasi dan korporatisasi pangan.
Ketua Umum SPI, Henry Saragih mengatakan, impor pangan adalah solusi palsu yang terus dikerjakan pemerintah era Jokowi. Terkhusus untuk pangan strategis seperti beras, kedelai, jagung, gula, daging sapi, bawang putih, dan garam.
“Kedelai di rentang 2015-2024, Indonesia mengimpor 2-2,6 juta ton. Untuk jagung 1,9 juta ton pada 2024, gula 5,4 juta ton, daging sapi 145 ribu ton, bawang putih 300-500 ribu ton per tahun, garam 2,4 juta ton dan beras realisasi impornya Januari-Mei 2024 sebanyak 2,755 juta ton, dan rencana Juni-Desember 2024 ada 1,596 juta ton dan masih dibuka peluang impor lanjutan sampai akhir tahun yang diperkirakan mencapai 5 juta ton,” ungkap Henry dalam Catatan Akhir Tahun Serikat Petani Indonesia tahun 2024 dengan tema ‘Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan Pemerintahan Jokowi Berbalik Arah’ di Jakarta, dikutip Sabtu (28/12).
Henry juga memaparkan bahwa ketidakstabilan harga pangan di era Jokowi yang memantik petani merugi besar.
Pada 2024, pemerintah menetapkan Harga Pembelian Gabah dan Beras (HPP) untuk GKP antara Rp5.000 sampai Rp6.000/kg. Harga itu tidak sebanding dengan kenaikan biaya usaha tani padi sawah konvensional yang mencapai Rp7.000/kg. Di sisi lain, pemerintah justru menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET), bukannya menaikkan HPP,” kata Henry.
Menurut SPI, lanjut Henry, salah satu penyebabnya fenomena-fenomena yang merugikan petani ini diakibatkan oleh pemerintah masih bergantung atau belum bisa menertibkan korporasi yang meraup keuntungan besar dalam alur distribusi nasional. Di tingkat internasional, Henry menitikberatkan peningkatan angka kelaparan global.
“Berdasarkan laporan FAO, angka kelaparan global terus meningkat pada 2017. Tahun 2023 terdapat 733,4 juta orang kelaparan di seluruh dunia dan tahun 2024 angka tersebut diproyeksikan meningkat. Hal ini dipicu oleh berbagai factor seperti faktor konflik yang terjadi di Timur Tengah dan eropa, Krisis Iklim dan masifnya perdagangan bebas,” tutur Henry.
Henry menjelaskan, Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani banyak perjanjian perdagangan bebas. “Pemerintah saat ini telah menandatangani 34 perjanjian bebas, termasuk sektor pangan. Hal ini sebenarnya dampak dari lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang mengubah UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
“Dihapusnya ketentuan impor pangan yang cukup ketat dalam Undang-Undang Pangan, membuat Indonesia telah dan akan lebih mudah dibanjiri oleh pangan impor,” kata Henry.
Rezim global perubahan iklim dan perbenihan, menurut Henry, menjadi faktor yang menyebabkan kerugian petani dan merusak sistem pangan.
“Krisis iklim yang memicu krisis pangan diperparah dengan solusi seputar adaptasi iklim melalui pasar karbon, biodiversity offset, konservasi hutan dan pesisir dan Climate Smart Agriculture (CSA) atau pertanian pintar iklim melalui rekayasa genetika dan penerapan DSI (Digital Sequal Information) perbenihan,” tutup Henry.(Ini).