Matanurani, Jakarta – Partai koalisi pemerintah, minus Partai Amanat Nasional (PAN), telah bersepakat besaran syarat batas ambang pencapresan sebesar 20 persen. Jika melihat peta politik saat ini, syarat tersebut berpeluang memunculkan calon presiden (capres) tunggal. Siapa untung siapa buntung?
Syarat pencapresan 20 persen dukungan suara parlemen akan menimbulkan konsekwensi politik yang tidak sederhana dalam Pemilu 2019 mendatang. Terlebih, syarat tersebut rujukannya adalah hasil Pemilu 2014 lalu. Peta politik secara telanjang dapat dibaca dengan mudah.
Bila disandingkan dengan peta saat ini, dukungan partai koalisi pemerintah minus PAN, syarat yang dikantongi calon petahana lebih dari cukup. Secara berurutan perolehan suara hasil Pemilu 2014 di koalisi petahana ini yakni PDI Perjuangan sebesar 18,95%, PKB 9,04%, Nasdem 6,72 %, PPP 6,53 % dan Hanura 5,26%. Koalisi ini bila ditotal akan mendapat dukungan sebesar 46,5%.
Bandingkan dengan partai di luar koalisi pemerintahan yakni Partai Gerindra 11,81%, PKS 6,79%, dan PAN 7,59% . Di kubu ini total dukungan hanya mencapai 26,19 persen. Itu bila skenario PAN bergabung di barisan kelompok ini.
Lain lagi bila PAN tidak masuk dalam barisan ini dan bergabung di barisan koalisi petahana, kelompok kontra pertahana hanya terdiri dari Partai Gerindra dan PKS hanya terkumpul dukungan hanya 18,6 persen. Angka ini tentu tidak memenuhi syarat dukungan sebesar 20 persen sebagai syarat mengajukan capres/cawapres.
Jika situasi tersebut terjadi, maka capres tunggal dalam Pemilu 2019 tidak bisa dihindari. Kemungkinan ini mestinya juga diatur dalam norma di UU Penyelenggara Pemilu. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur bila capres/cawapres hanya diikuti oleh calon tunggal saja.
Skenario tersebut di atas bila formasi koalisi berjalan dengan solid. Meski menuju koalisi solid terkait RUU Penyelenggara Pemilu ini tidaklah mudah. Setidaknya hal itu tercermin dalam rapat kerja Pansus RUU Penyelenggara Pemilu pada Kamis (13/7) yang gagal mencapai kesepakatan terhadap lima isu di RUU Penyelenggara Pemilu.
Bila pun partai koalisi sepakat terhadap isu persyaratan pencapresan sebesar 20 persen, tidak untuk isu-isu lainnya. Dengan kata lain, sejatinya, di internal koalisi tidak solid terkait isu RUU Penyelenggara Pemilu ini. JIka solid, semestinya dengan komposisi partai koalisi, lima isu dalam RUU Penyelenggara Pemilu ini dapat diselesaikan di tingkat Pansus Penyelenggara Pemilu.
Situasi ini pada akhirnya membuka kondisi yang tidak terkendali dalam sidang paripurna DPR yang dijadwalkan pada 20 Juli 2017 pekan depan. Ancaman deadlock dalam pengesahan RUU Penyelenggara Pemilu tidaklah mustahil. Artinya, opsi kembali ke UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu tidak mustahil ditempuh, meski dari sisi teknis opsi ini akan bermasalah di lapangan khusus terkait dengan proses tahapan pemilu yang harus dimulai sejak 22 bulan sebelum pelaksanaan pemilu.
Opsi yang rasional ditempuh oleh pemerintah adalah menerbitkan Perppu Pemilu karena memang situasi dalam keadaan genting lantaran terjadinya kekosongan hukum terkait dengan Pemilu 2019 yang dilaksanakn serentak itu. (Mer)