Matanurani, Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), membahas mengenai dampak kekeringan panjang 2019.
Dalam laporan dan pengamatan BMKG, kekeringan tahun ini diprediksi akan berlangsung lama dan jauh lebih kering dari sebelumnya.
Dalam siaran persnya, untuk mengatasi masalah ini Kemenko PMK mengatakan, perlu kerja sama lintas kementerian dan lembaga untuk menanggulanginya. Walau sejauh ini, upaya pencegahan sudah dilakukan.
Upaya itu seperti sosialisasi, penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan, patroli rutin dan terpadu, serta antisipasi lain yang terus berjalan.
“Untuk bencana kekeringan, upaya yang telah dilakukan kementerian dan lembaga dalam menghadapi darurat kekeringan yaitu pendistribusian air bersih sebanyak 7.045.400 liter,” demikian ditulis dalam siaran pers Kemenko PMK, Selasa (30/7).
Hal lain dilakukan seperti penambahan jumlah mobil tangki, hidran umum, pembuatan sumur bor, hingga kampanye hemat air.
Kekeringan juga berdampak pada kebakaran hutan dan lahan atau karhutla. Bahkan, ada kenaikan titik api jika dibandingkan 2018 pada periode yang sama. Daerah daerah itu yakni Riau, Kalsel, Kaltim, dan Kaltara.
Selain itu, sudah ada 5 provinsi dan 3 kabupaten yang menetapkan status siaga karhutla, yaitu provinsi Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan. Kabupaten Dumai, Kabupaten Sambas, dan Kabupaten Siak.
Sementara akibat kekeringan, sudah ada 55 kepala daerah tingkat II yang membuat keputusan siaga darurat bencana kekeringan, yaitu Banten, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, NTB.
Sementara wilayah yang memiliki risiko sedang-tinggi terdampak kekeringan teridentifikasi sebanyak 28 provinsi dengan luas wilayah 11.774.437 hektare dan diperkirakan jiwa terpapar sebanyak 48.491.666.(Viv).
