Oleh : Ir Entang Sastraatmadja
DALAM dunia perberasan, bangsa kita pernah berjaya. Dilihat dari Piagam Penghargaan kelas dunia yang diterima pada tahun 1984 dan 2022, Indonesia mampu memproklamirkan diri sebagai bangsa yang berswasembada beras. Pada tahun-tahun tersebut, produksi beras dalam negeri cukup melimpah. Di kedua tahun itu, Indonesia mampu membebaskan diri dari impor beras.
Namun sangat disayangkan, dalam dua tahun terakhir, bangsa kita kembali harus mengandalkan impor guna memenuhi kebutuhan dalam negeri, khususnya untuk memperkuat cadangan beras nasional dan Program Bantuan Pangan Beras. Impor beras tak dapat dielakkan. Untuk tahun 2024, Pemerintah telah merencanakan impor beras sekitar 6 juta ton—sebuah angka yang cukup fantastis.
Tingginya impor beras yang ditempuh bisa disebut sebagai salah satu faktor penyebabnya adalah karena produksi beras secara nasional terekam turun dengan angka cukup signifikan. Turunnya produksi beras di tahun-tahun terakhir pemerintahan Presiden Jokowi/Ma’ruf Amin benar-benar mengharukan. Secara jujur, Pemerintah mengaku sedikitnya ada 10 penyebab turunnya produksi beras.
Ke 10 penyebab tersebut adalah pertama adalah volume pupuk subsidi dikurangi 50 persen. Amran mencatat alokasi pupuk subsidi pada 2021 sebanyak 8,78 juta ton. Namun tiap tahun alokasi pupuk turun hingga hanya 4,73 juta ton tahun ini. Kedua adalah sebanyak 17 hingga 20 persen petani tidak bisa menggunakan Kartu Tani. Ketiga adalah petani hanya diberi pupuk satu kali tanam.
Keempat Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Jawa mencatat 30 juta orang tidak boleh menerima pupuk. Kelima, alsintan (alat dan mesin pertanian) sudah tua. Keenam adalah kekeringan akibat El Nino. Ketujuh adalah saluran irigasi 60 persen kondisinya perlu direhabilitasi. Kedelapan, jumlah petugas penyuluh lapangan (PPL) hanya 50 persen dari kebutuhan. Kesembilan bibit unggul berkurang. Dan kesepuluh anggaran turun.
Turunnya produksi beras nasional sangat tidak baik jika dibiarkan begitu saja. Kita harus segera mencari jalan keluar terbaiknya. Ke-10 penyebab di atas perlu ditangani satu per satu, sehingga terukur pencapaiannya. Jika dicermati, ke-10 penyebab tersebut tidak semuanya menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian. Namun, ada juga yang terkait dengan Kementerian/Lembaga lain.
Sebut saja soal 60% saluran irigasi yang rusak dan butuh perbaikan. Hal ini jelas bukan tanggung jawab Kementerian Pertanian semata, tetapi lebih berkaitan dengan tugas dan fungsi Kementerian PU. Itu sebabnya, Kementerian PU perlu lebih proaktif dalam merehabilitasi saluran irigasi yang rusak tersebut. Kerusakan irigasi ini telah berlangsung sejak lama.
Yang tidak habis pikir, mengapa pagu anggaran Pemerintah untuk Kementerian Pertanian dikurangi? Betapa merananya para petani padi di Tanah Merdeka, karena anggaran yang dikurangi membuat produksi beras turun cukup signifikan. Lebih sedih lagi, karena kekurangan beras untuk memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri, terpaksa kita harus impor beras.
Impor beras tahun ini dinilai cukup fantastis. Direncanakan kita akan impor sekitar 5,17 juta ton beras, bahkan ada yang menghitung hingga 6 juta ton. Dengan impor sejumlah itu, betapa senangnya para petani padi luar negeri karena mampu menyedot devisa negara kita. Bayangkan, betapa senangnya para petani padi dalam negeri jika devisa itu digunakan untuk kebutuhan petani padi di dalam negeri.
Kalau saja kita tidak melakukan impor, tidak mungkin akan muncul isu dugaan mark up impor beras yang diangkat oleh LSM dan ditudingkan ke Bapanas dan Perum Bulog. Tidak terjadi pula demurrage beras yang tertahan di pelabuhan, sehingga harus membayar denda dengan nilai yang cukup besar. Lebih jauh lagi, tidak mungkin akan muncul prasangka buruk terhadap Perum Bulog sebagai operator pangan dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Begitulah luka-liku impor beras. Selalu saja ada opini miring yang menyertainya. Impor beras memang dibenci tetapi juga direstui. Keinginan untuk menghentikan impor beras sebenarnya telah mengemuka sejak lama. Itu sebabnya, Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan produksi beras secara nasional. Slogan “stop impor” dan “genjot produksi” sering terdengar di berbagai kesempatan.
Sayangnya, kemauan politik Pemerintah untuk menggenjot produksi setinggi-tingginya menuju swasembada, sepertinya tidak diiringi oleh tindakan politik yang mendukung. Kalau saja Pemerintah serius ingin membangun pertanian sebagaimana yang dikomitmenkan, mestinya ke-10 penyebab turunnya produksi beras di atas tidak perlu terjadi.
Namun, fakta menunjukkan hal yang berbeda. Kemauan politik dan tindakan politik sepertinya belum menyatu dalam strategi pembangunan pertanian kita. Kemauan politik terkesan seperti mengecat langit, sementara tindakan politiknya seolah-olah kesulitan untuk menapak di bumi. Akibatnya, banyak program dan kegiatan yang tidak sesuai target.
Begitu pun dengan upaya untuk mengembalikan kejayaan perberasan nasional. Kisah sukses swasembada beras pada 1984 dan 2022, terlihat semakin sulit untuk diwujudkan lagi di masa depan jika tidak ada perubahan mendasar dalam skenario pembangunan pertanian nasional. Di sinilah perlu adanya revitalisasi pembangunan pertanian, khususnya sektor perberasan.
Revitalisasi sendiri bisa dimaknai sebagai upaya pemberian “darah baru” atau “giving a new life” terhadap pelaku utama dan pelaku usaha sektor perberasan. Semua harus bahu-membahu. Pemerintah diharapkan tampil sebagai “prime mover,” baik dalam desain perencanaan maupun pelaksanaannya. Begitu pula dengan kalangan dunia usaha, akademisi, komunitas, dan media. Kita pasti bisa!
Penulis adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah HKTI Jawa Barat