Matanurani, Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus merampungkan pembentukan holding BUMN. Salah satu holding yang ditargetkan rampung pada akhir tahun ini, yaitu holding BUMN Pertambangan yang dipimpin oleh PT Inalum.
Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan, holding akan memperkuat peran dan kontribusi BUMN terhadap negara. Sebab, selama ini BUMN telah berkontribusi sekitar 20 persen terhadap GDP Indonesia.
“Konsep holding-nya BUMN, karena BUMN punya peran besar dalam ekonomi dan devisa. 20 persen GDP Indonesia itu sangat tergantung dari BUMN. Kalau BUMN-nya mati, ya enggak bisa,” tutur Budi Gunadi Sadikin di Kantor Inalum, Jakarta.
Selain itu, pembentukan holding juga untuk menunjukkan jika Indonesia memiliki kekayaan yang luar bisa besar melalui BUMN. Namun, jika BUMN-BUMN ini masih jalan sendiri-sendiri, nilai kekayaan yang dimiliki Indonesia akan terlihat kecil.
Terakhir, tujuan pemerintah membentuk holding BUMN, yaitu agar seluruh cadangan sumber daya alam, seperti mineral, minyak, gas dan lain-lain bisa dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyat.
Perbaikan Kinerja
Pemerintah dinilai perlu memperbaiki kinerja BUMN ketimbang menyatukannya dalam satu payung bernama holding. Sebab, holding dianggap bukan satu-satunya upaya merestrukturisasi BUMN, mengingat masing-masing perusahaan berpelat merah itu memiliki kondisi dan permasalahan berbeda-beda.
Ekonom Faisal Basri menilai, holding BUMN hanya akan memperkecil penerimaan pajak Indonesia. Semakin besar skala BUMN, maka akan semakin rendah pembayaran pajaknya. “Ini tesis yang baru saja saya persiapkan,” kata Faisal dalam seminar “Penyelamatan Pengelolaan BUMN Indonesia” yang diselenggarakan Forum Kajian Wartawan Ekonomi (FKWE) di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, kemarin.
Dalam kacamata Faisal, perusahaan-perusahaan pelat merah ditugaskan untuk investasi, padahal tidak memiliki uang. Hingga akhirnya mencari pinjaman yang membuat labanya turun semua.
Belum lagi, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang dipaksa menjual gas US$ 6 per MMBTU akhirnya harus menanggung penugasan itu dari kas sendiri. “Implikasinya, pembayaran pajak dan dividennya makin kecil,” jelas Faisal.
Kusdhianto Setiawan, Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomika & Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) menambahkan, BUMN yang berbentuk Persero itu tugasnya adalah berbisnis bukan menerima penugasan.
“Kalau untuk tugas khusus seperti itu kan ada BUMN berbentuk Perusahaan Umum (Perum) yang tidak mengedepankan profit,” katanya.
Ia juga mengkritik alasan menggabungkan beberapa perusahaan pelat merah di sektor bisnis yang sama untuk memperbesar skala perusahaan, sehingga bisa lebih mudah mencari pendanaan untuk keperluan ekspansi. Kusdhianto mencontohkan, wacana menggabungkan PGN dan Pertagas sebagai anak usaha Pertamina tidak akan mampu menciptakan efisiensi investasi.
“Sekarang PGN dan Pertagas punya aset sendiri, lalu dengan digabungkan harapannya bisa efisiensi dan membuat struktur modal yang lebih baik. Tetapi efisiensi dalam operasi bisnisnya belum tentu. PGN sudah punya jalur distribusi sendiri, Pertagas juga. Kalau disatukan, asetnya tetap sulit digabungkan,” katanya.
Terlebih dengan status PGN sebagai perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Kusdhianto mencatat sejak wacana penggabungan PGN dengan Pertagas, harga sahamnya terus merosot. Pada Januari 2016, harga saham PGN tercatat masih ada di level Rp 6.050 per saham.
“Saat sering diberitakan, muncul ketidakpastian bagi investor. Risiko pasarnya naik. Sehingga di November harganya turun jadi Rp 2.300 per saham. Ini akibat melempar wacana soal holdingisasi dan merger yang belum matang tetapi sudah di lempar ke publik,” tegasnya. (Rmo).