
JAKARTA,22/07-RONTOKNYA BISNIS RITEL. Pengunjung bberbelanja kebutuhan pangan di sebuah pusat belanja di Jakarta, Senin (22/07). Pergeseran gaya berbelanja masyarakat ke platform dagang elektronik disinyalir turut memengaruhi penjualan fast moving consumer goods (FMCG) di ritel modern. Bank Indonesia, mencatat transaksi di platform dagang-el Indonesia sepanjang 2018 mencapai Rp77,766 triliun. Angka tersebut meroket 151% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp30,942 triliun. KONTAN/Fransiskus Simbolon/22/07/2019
Matanurani, Jakarta – Kenaikan harga pangan yang terjadi di dalam negeri disebabkan oleh dua faktor. Yakni produksi dalam negeri yang mengalami stagnansi atau bahkan penurunan. Di mana tak tercapainya swasembada pangan. Dan situasi global yang juga dialami hampir seluruh negara di dunia.
“Oleh sebab itu kami harapkan dari BUMN pangan itu lebih berperan salah satunya ikut dalam mensukseskan swasembada pangan dalam negeri, kedua pemerintah menjalankan strategi ke negara-negara yang menjadi pengimpor pangan di dunia sehingga bisa menjadi alternatif,” kata Anggota Komisi VI DPR RI Achmad Baidowi, Minggu (26/6).
Namun mencari alternatif negara lain untuk pemenuhan beberapa pangan di dalam negeri hanya menjadi langkah jangka pendek. Ia menyebut pemerintah ke depan tetap harus mengupayakan suksesnya swasembada pangan.
“Ini jangka pendek tentu harus alternatif ke negara lain untuk mengimpor pangan, tapi jangka panjang tentu pencapaian swasembada pangan,” imbuhnya.
Sebagai informasi Indonesia masih melakukan impor untuk beberapa barang pangan misalnya gandum, bawang putih, daging sapi, hingga kedelai.
Sementara itu Anggota Komisi VI DPR RI, Amin AK menjelaskan, persoalan pangan dipengaruhi oleh hukum ekonomi supply dan demand. Dimana semakin tinggi permintaan sedangkan pasokan terbatas, maka harga akan sangat tinggi.
“Artinya saat ini, menghadapi ancaman krisis pangan saat ini, maka stabilisasi stok atau pasokan pangan adalah kuncinya. Harus ada upaya keras untuk memastikan terpenuhinya stok atau kebutuhan pangan masyarakat saat ini, bagaimanapun caranya. Untuk komoditas impor, Indonesia harus mengembangkan kerjasama bilateral dengan lebih banyak negara produsen,” tegas Amin.
Amin menjelaskan, terdapat tiga kelompok pangan berdasarkan ketersediaannya. Pertama, komoditas pangan yang sudah mampu memproduksi sendiri dalam jumlah mencukupi, seperti beras, cabai, bawang merah, telur dan daging ayam, ikan, serta minyak goreng.
Kedua, komoditas pangan seharusnya Indonesia mampu mencukupi sendiri, seperti gula, jagung, kedelai, dan daging. Ketiga, komoditas pangan yang sepenuhnya tergantung pada impor, seperti gandum dan produk turunannya.
Adapun persoalan utama untuk pangan kelompok pertama, dinilai karena tata niaga dan sistem pengelolaan stok yang masih buruk. Hal itu sering terjadi pada komoditas cabai, bawang, tomat, dan sejumlah produk hortikultura lainnya.
“Produk-produk ini melimpah di saat panen raya dan harganya jatuh sehingga petani menangis karena merugi. Sedangkan pada musim tertentu (dikenal dengan off-season), produksi rendah dan harga melambung tinggi, sehingga menyebabkan inflasi tinggi. Seharusnya dengan perkembangan teknologi yang ada, sistem pengelolaan stok bisa dibenahi,” imbuhnya.
Pemerintah disarankan menunjuk Bulog untuk memborong produksi petani pada saat panen raya, kemudian disimpan dengan teknologi yang bisa memperpanjang usia kesegaran komoditas, sehingga dapat menutupi kekurangan saat produksi turun.
Sementara itu pada kelompok pangan kedua, disebabkan rendahnya efisiensi produksi yang mengakibatkan mahalnya biaya produksi dan harga jual hasil panen. Ditambah kendala minimnya ketersediaan lahan, dan tata niaga yang masih jauh dari ideal, serta tingginya biaya logistik.
Pada komoditas pangan kelompok ketiga, Amin mengatakan, yang bisa dilakukan antara lain dengan mengembangkan pangan alternatif berbasis pangan lokal.
“Misal terigu, mie instan, maupun industri aneka kue dan roti yang sangat tergantung pada gandum impor, harus didorong untuk menggunakan produk alternatif seperti tepung casava dari singkong, tepung dari ubi jalar, dan lain,” jelasnya.
Ia menegaskan, pada dasarnya Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman pangan lokal, yang bisa diolah menjadi bahan baku industri makanan dan minuman.
Potensi tersebut apabila dikembangkan dan dilakukan hilirisasi menjadi bahan baku industri, maka Indonesia akan mampu mengurangi ketergantungan impor. (Ktn).