Matanurani, Jakarta – Tak hanya mencurigai Ferdy Sambo, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyebut, banyak pejabat negara punya harta tak wajar. Padahal, aset dan kekayaan milik penyelenggara negara mudah dipantau.
Kecurigaan itu disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat ditanyai soal kecurigaan KPK terhadap rekening Ferdy Sambo.
Dia menyebut, kecurigaan itu tak hanya kepada Sambo seorang, melainkan para pejabat negara yang memiliki rumah-rumah besar.
“Ya, kalo masalah curiga sih, nggak hanya yang bersangkutan (Ferdy Sambo)… kan banyak pejabat negara yang punya kekayaan negara nggak wajar. Rumah di Pondok Indah itu punya siapa? Siapa saja pejabat punya rumah di situ?” kata Alexander Marwata kepada wartawan, Minggu (11/12).
Dia menerangkan, sejatinya seluruh aset kekayaan penyelenggara negara itu dapat mudah dipantau. Sebab, pemasukan pejabat negara itu memiliki jumlah yang terukur.
“Kan gaji penghasilan penyelenggara negara, pejabat negara itu terukur, mulai dari pangkat terendah sampai pensiun. Itu semua ada SK-nya, tunjangan, gaji pokok berapa,” jelas dia.
Kemudian, rekening tak wajar itu bisa diungkap lewat hasil penghitungan keseluruhan. Ia menyebut pendapatan penyelenggara itu dapat diakumulasikan mulai awal bekerja hingga pensiun.
“Tinggal diakumulasi saja kan, kapan dia masuk, kapan pensiun, punya penghasilan di luar penyelenggara negara, sebagai ASN atau tidak. Kalau punya bisnis, harus diungkap. Bisnis apa? Penghasilan berapa?” tegas dia.
Tak Lengkapi LHKPN
Dalam kesempatan itu dia mengungkap bahwa eks Kadiv Propam Mabes Polri Ferdy Sambo tak pernah melengkapi penyampaian Laporan Harta Kekayaan Negara (LHKPN). Dia mengatakan, Ferdy Sambo tak melampirkan surat kuasa kepada KPK.
“Sebetulnya bukan belum terdaftar, tetapi yang bersangkutan belum menyampaikan surat kuasa, untuk melakukan klarifikasi,” ucap dia.
Alex menyebut, selain menyampaikan aset yang dimiliki, para Penyelenggara Negara juga diwajibkan untuk menyertakan surat kuasa.
Surat itu bertujuan untuk memberi izin kepada KPK dalam mengklarifikasikan penyampaian LHKPN, salah satunya yakni memeriksa rekening bank.
“Selain menyampaikan laporan, yang bersangkutan harus sampaikan surat kuasa. Misalnya kami boleh meminta laporan rekening koran yang bersangkutan dan keluarganya ke bank, dalam rangka klarifikasi, yang bersangkutan tidak sampaikan itu,” Ucap dia.
“Jadi, kami anggap LHKPN yang bersangkutan belum lengkap. Sehingga belum juga bisa kita umumkan, karena apa? Kita nggak punya surat kuasa,” jelas Alex.
Selain itu, dia menyebut, sejatinya setiap anggota Polri wajib melampirkan LHKPN. Laporan itu seharusnya dilaporkan oleh setiap penyidik.
“(Polri) wajib. Semua penyidik, wajib,” pungkas Alex.
Paling Rawan Korupsi
Alexander Marwata juga mengungkapkan, pihaknya telah melakukan pemetaan terhadap risiko terhadap instansi negara yang pejabatnya rawan terjerat tindak pidana korupsi.
Menurut Alex, mitigasi terhadap risiko dugaan korupsi tersebut dilakukan KPK dengan melakukan pengecekan terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) para pejabat di instansi tersebut.
“Kita petakan risiko-risiko instansi pemerintah yang tingkat korupsinya tinggi, kemudian kita lihat dari laporan LHKPN para pejabatnya, enggak semua kemudian kita periksa,” ujar Alex.
“Ada 300.000 lebih penyelenggara pejabat negara yang wajib lapor, tapi di antara 300.000 lebih itu kita petakan instansi mana sih yang paling rawan,” ucapnya melanjutkan.
Alex menyatakan, aparat penegak hukum merupakan instansi yang rawan terjadi tindak pidana korupsi berdasarkan data yang diperoleh KPK.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai serta Kementerian Badan Pertanahan Nasional (BPN) turut masuk menjadi instansi yang rawan korupsi.
“Aparat penegak hukum, Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, BPN itu rawan pungli,” papar Alex. (Det).