Matanurani, Jakarta – Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan pasal terkait penghinaan presiden di KUHP terbaru, bukan untuk membungkam demokrasi. Eddy sapaannya memberikan penjelasan terkait pasal tersebut.
Pada Pasal 218, setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp 200 juta).
Sementara, pada Pasal 240 ayat (1), setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghinan pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana paling lama 1,5 tahun atau pidana dengan paling banyak kategori II (Rp 10 juta).
“Sementara, persoalan penghinaan itu sendiri, bahwa sebetulnya yang dimaksudkan penyerangan harkat dan martabat itu hanya dua yaitu menista dan fitnah. Hanya itu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Dalam penjelasan itu kami sudah mengatakan bahwa pasal ini tidak dimaksudkan untuk membungkam demokrasi kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat,” kata Eddy saat konferensi pers di Jakarta, Senin (12/12).
Kekhawatiran di kalangan masyarakat saat ini, yakni makna penghinaan dan kritik yang berpotensi sulit dibedakan. Hal ini pun juga telah diungkapkan oleh LBH Jakarta. Namun, Eddy menegaskan penghinaan dan kritik dalam KUHP merupakan dua hal yang berbeda. Dia menilai kritik penting bagi negara demokrasi sekalipun itu melalui unjuk rasa.
“Karena kritik yang diwujudkan dalam unjuk rasa itu sangat diperlukan bagi negara demokrasi sebagai social control. Artinya, dengan penjelasan pasal ini secara tidak langsung kami mengatakan bahwa kritik dan unjuk rasa itu boleh,” terangnya.
Dalam pemaparannya, Eddy juga mengatakan pemerintah telah menerima berbagai masukan dari masyarakat. Tadinya, pasal penghinaan itu ada empat. Misalnya, penyerangan harkat dan martabat terhadap presiden dan wakil presiden, penghinaan terhadap pemerintah, kekuasaan umum, dan pejabat negara.
“Ini yang di-cut ada dua pasal yaitu pasal penghinaan terhadap pejabat negara dan pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum. Itu kami batalkan, tetapi untuk pasal pemerintahan, itu kami masukkan tidak hanya pemerintah, tetapi lembaga negara,” tuturnya. (Bes).