Matanurani, Jakarta – CNBC Indonesia Research mencatat hampir seluruh asumsi makro yang ditetapkan pemerintah untuk 2024 meleset dari target. Kondisi ini semakin memperpanjang tren negatif selama bertahun-tahun di mana asumsi makro selalu meleset dari target yang ditetapkan.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan selama periode 2014-2024, hampir semua asumsi meleset dari target. Asumsi pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, dan lifting minyak adalah yang paling kerap melenceng.
Untuk tahun ini, realisasi sejumlah asumsi makro lebih baik dibandingkan target, termasuk inflasi dan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun. Namun, realisasi nilai tukar dan lifting minyak dan gas jauh lebih buruk dari targetnya.
Sebagai catatan, asumsi makro dalam APBN digunakan sebagai dasar untuk menghitung belanja dan pendapatan negara. Jika angka asumsinya meleset maka hitungan pendapatan dan belanja negara juga bisa melenceng.
Target pertumbuhan ekonomi pada APBN 2024 ditetapkan sebesar 5,2%. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan ekonomi Indonesia hanya tumbuh di kisaran 5% untuk kuartal IV-2024.
Sebagai catatan, ekonomi RI hanya tumbuh 4,95% (year on year/yoy) pada kuartal III-2024 dan secara kumulatif di angka 5,03% hingga Januari-September 2024.
Realisasi asumsi nilai tukar juga lebih kerap berada di atas atau lebih lemah dibandingkan proyeksi. Dalam 11 tahun terakhir, realisasi nilai tukar yang lebih rendah dibandingkan asumsi terjadi pada 2016, 2017, 2019, dan 2021.
Pada 2024, rata-rata nilai tukar rupiah di angka Rp15.847/US$ dengan end of period (EoP) di angka Rp16.162/US$.
Depresiasi yang signifikan memengaruhi belanja, namun tetap diimbangi alokasi belanja yang efektif sebagai.
Asumsi harga minyak Indonesia (ICP) beberapa kali di atas realisasi. Khusus pada 2023 dan 2024 yang tercatat asumsi jauh di atas realisasi meskipun pada 2021 dan 2022 terpantau realisasi di atas dari asumsi.
Sementara Realisasi lifting minyak dan gas sangat mengecewakan. Bukan hanya karena hampir selalu di bawah target tetapi juga karena terus menurun.
Pada 2016, realisasi lifting masih menembus 829.000 barel per hari tetapi angkanya anjlok menjadi 571.700 barel per hari pada 2024.
Sementara itu, lifting gas anjlok dari 1,18 juta barel setara minyak per hari (mbopd) pada 2016 dan anjlok menjadi hanya 0,97 juta pada akhir 2024.
Dari tujuh asumsi makro yang ditetapkan dalam APBN 2024, keberhasilan terbesar pemerintah ada di inflasi, ICP, dan imbal hasil surat utang.
Dalam 11 tahun terakhir, hanya dua kali realisasi inflasi di atas asumsi yang ditetapkan yakni pada 2014 dan 2022.
Pada dua periode tersebut, pemerintah sama-sama menaikkan harga BBM subsidi yang membuat inflasi melonjak.
Selebihnya, inflasi melaju jauh di bawah asumsi. Pada 2020, inflasi Indonesia bahkan mencatat posisi yang cukup rendah yakni di level 1,68%. Inflasi hanya mencapai 2,61% pada 2023, dari 3,6% yang ditetapkan pada APBN.
Sementara di 2024, realisasi inflasi sebesar 1,57% atau yang terendah sepanjang sejarah. Hal ini terjadi mengingat daya beli masyarakat yang cukup rendah bersamaan dengan harga komoditas yang cenderung stabil bahkan angka Indeks Harga Konsumen (IHK) secara bulanan sempat mengalami deflasi selama lima bulan beruntun.
Lebih lanjut, realisasi imbal hasil surat juga lebih sering di bawah asumsinya. Pengecualian terjadi pada 2016, 2019, 2022, 2023, dan 2024.
Sebagai catatan, pemerintah mengganti asumsi untuk imbal hasil Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan pada 2021 menjadi Surat Berharga Negara/SBN tenor 10 tahun untuk lebih mengetahui kondisi pasar keuangan domestik.(Cnb).