Matanurani, Jakarta – Ombudsman meminta ada kejelasan neraca dagang gula untuk menelusuri laporan kisruh tata niaga gula yang diajukan oleh Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI).
Wakil Ketua Ombudsman Lely Pelitasari Soebekty menjelaskan, data-data pada laporan yang diberikan oleh APTRI pada Jumat (27/7) menunjukkan potensi kelebihan pasokan gula akibat impor dan minimnya penyerapan industri.
Hal ini terlihat dari laporan APTRI yang merinci pada tahun 2016 terdapat surplus gula konsumsi atau gula kristal putih (GKP) sebesar 2 juta ton, kemudian pada tahun 2017 surplus bertambah menjadi 2,4 juta ton dan pada tahun 2018 berpotensi mencapai 3,7 juta ton.
“Ini potensi oversupply, maka saya tanya neraca, karena dari pengamatan saya neraca gula itu tidak pernah fix antara Kemdag, Kemperin, Kemtan dalam konteks gula keseluruhan,” kata Lely, di Jakarta Jumat (27/7).
Lely menjabarkan, dalam pembendaharaan gula di Indonesia, ada kericuhan dalam menelusuri gula industri yang terdiri dari impor gula mentah dan impor gula rafinasi, serta gula konsumsi yang berasal dari produksi dalam negeri dan dari impor.
Apalagi masing-masing kementerian memiliki perhitungan tersendiri dalam menentukan besaran impor, angka produksi dan kebutuhan gula nasional. Sehingga ujungnya tidak ditemui satu kerangka neraca dagang gula yang sama.
Dengan demikian, Lely melihat bila ingin meluruskan informasi kebutuhan dan produksi dengan tepat, pemerintah seharusnya menunjuk satu otoritas yang memiliki kewenangan rekomendasi dan impor, layaknya bulog pada komoditas beras.
“Memang kebijakan pergulaan perlu didudukkan kembali, sebetulnya pemerintah mau mendudukan gula petani dimana, apalagi pengampu gula ada tiga Kementerian dan mereka harus dikoordinasikan di Kemenko Perekonomian juga,” jelasnya.(Ktn).