Matanurani, Jakarta – Menteri Koordinator Perekonomian mengatakan revisi lanjutan terhadap daftar negatif investasi (DNI) tak akan dilakukan dalam waktu dekat, meski pertumbuhan investasi swasta tahun ini tak besar. Saat ini pemerintah tengah berfokus pada upaya mengurai ruwetnya perizinan investasi. “DNI itu nantilah,” ujarnya kepada Tempo, kutip Koran Tempo edisi Jumat 28 Juli 2017.
Menurut Darmin, revisi DNI belum diperlukan karena masalah sekarang terletak pada keran-keran investasi yang ada. Realisasi Rp 170 triliun yang tumbuh hanya 3,1 persen dari kuartal I 2017. “Masih bagus bisa bertumbuh.” Dia tak menampik ada indikasi perlambatan di sektor riil seperti retail.
“Sekarang izin usaha saja yang mudah. Begitu mau operasi, harus berhadapan dengan puluhan, bahkan ratusan, langkah,” ujar Darmin. Karena itu, untuk membenahinya, pemerintah berjanji akan terus mempermudah perizinan. Paket deregulasi yang baru, kata bekas Gubernur Bank Indonesia itu, akan segera keluar dua pekan lagi.
Sebelumnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong mengatakan ada peluang untuk merevisi DNI sebagai upaya meningkatkan investasi swasta, terutama dari luar negeri. BKPM membuka peluang bagi kementerian dan lembaga pemerintah untuk mengajukan usul baru. Terakhir DNI direvisi tahun lalu berbarengan dengan peluncuran paket kebijakan ekonomi X.
BKPM juga sedang memikirkan terobosan peraturan baru ihwal ketenagakerjaan. Menurut dia, saat ini ada perubahan tren penyerapan tenaga kerja karena minimnya realisasi investasi padat karya. “Tahun lalu terserap 681 ribu tenaga kerja, tahun ini cuma 540 tenaga kerja,” kata Thomas.
Presiden Joko Widodo meminta para pembantunya di pemerintah terus mengedepankan kemudahan perizinan. “Saya masih lihat ada yang urus sampai tahunan,” ujar bekas Gubernur DKI Jakarta tersebut. Pemerintah daerah juga disentil untuk bisa bersinergi dengan perizinan pusat.
“Kalau begini terus, kita bisa ditertawakan dunia,” ujar Jokowi. Menurut Presiden, seluruh dunia sedang dihadapkan pada persaingan yang amat ketat untuk mendatangkan modal asing. Adapun ekspor komoditas tak lagi bisa diandalkan lantaran harganya yang kembali turun belakangan ini. (Tem).