Home Ekonomi Impor Hambat Pertumbuhan Ekonomi

Impor Hambat Pertumbuhan Ekonomi

0
SHARE
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, M Faisal,

Matanurani, Jakarta – Sejumlah kalangan mengemukakan kebergantungan yang tinggi pada barang impor, terutama pangan dan barang konsumsi, akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Selain itu, bergantung pada impor juga menimbulkan berbagai kerugian, seperti dana nasional yang habis untuk membayar devisa, mematikan industri dan produksi nasional, dan hilangnya kedaulatan negara karena semua konsumsi dan kebutuhan rakyat berasal dari negara lain.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, M Faisal, mengatakan selama ini sektor konsumsi menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi.

Namun, apabila konsumsi itu berasal dari impor maka akan mendistorsi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jadi, kandungan lokal dari barang konsumsi adalah penentu kualitas pertumbuhan konsumsi nasional.

“Kita berharap pertumbuhan didorong bukan dari konsumsi, tapi juga oleh net ekspor (selisih ekspor dan impor),” kata Faisal, di Jakarta, Senin (17/9).

Apabila rakyat Indonesia mengonsumsi produk impor, itu sama dengan WNI belanja di luar negeri. Artinya, pertumbuhan ekonomi bukan untuk Indonesia, tapi pertumbuhan ekonomi negara eksportir.

Oleh karena itu, menurut Faisal, barang konsumsi sebaiknya dipasok dari dalam negeri. Jika impor bisa ditekan, otomatis kinerja net ekspor menjadi lebih baik.

“Inilah yang kita rasakan belakangan ini, kita mengalami defisit perdagangan antara lain karena lonjakan impor bukan hanya bahan baku, tapi juga penolong untuk industri dan infrastruktur.

Bukan hanya barang modal, tapi impor barang konsumsi tumbuh pesat,” kata dia. Hal inilah, lanjut Faisal, yang menahan laju pertumbuhan ekonomi 2018 karena net ekspor menjadi negatif.

Berbagai kerugian lain yang timbul akibat impor adalah dana nasional habis untuk membayar devisa dan mematikan industri dan produksi nasional.

Dengan matinya produksi dan industri nasional maka asing yang menentukan barang dan harga kebutuhan rakyat Indonesia. Contohnya, Indonesia importir gandum terbesar di dunia mengalahkan Tiongkok, sedangkan populasi RI hanya seperlima Tiongkok dan India.

Maka jika suatu hari pasokan eksportir dunia terbatas, RI akan kesulitan membeli pangan. Di situlah Indonesia akan kehilangan kedaulatan sebagai bangsa karena makan pun bergantung dari produsen luar negeri, antara lain kedelei, jagung, beras, dan buah-buahan.

Belum lagi kebutuhan rumah tangga baik sandang maupun pangan. Artinya, akan muncul kerugian berlapis-lapis akibat matinya produsen nasional.

Faisal menambahkan apabila hal ini terus dibiarkan, kemampuan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri semakin berkurang. Artinya, potensi impor semakin lama akan semakin besar karena penduduk terus bertambah.

“Ini yang menganggu kedaulatan pangan. Walaupun impor bahan pangan lebih murah dibanding di dalam negeri dan dari sisi suplai terjamin, tapi rentan terhadap berbagai faktor, misalnya nilai tukar. Jika dollar menguat, otomatis harga di dalam negeri akan naik,” jelas dia.

Pengendalian Impor

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, mengatakan pengendalian impor saja tidak cukup. Sebab, orang bisa saja membeli langsung ke luar negeri dan mendapatkan harga yang lebih murah.

“Jadi, efektivitas pengendalian impor itu tujuannya menghemat devisa. Tapi kalau salah kalkulasi orang tetap beli dari luar, atau titip temannya.

Artinya, pengurangan devisanya tidak efektif dan malah potential loss untuk PPN dan PPh badan karena kalau penjualan berkurang, kontribusi PPh berkurang,” jelas dia.

Untuk itu, imbuh dia, harus ada simulasi karena timbul kemungkinan kedua, yaitu imported inflation. “Imported inflation ini kalau tidak tersedia barang substitusinya maka justru berdampak mengurangi konsumsi.

Padahal kelompok menengah ke atas, tentu kontribusinya untuk konsumsi jauh lebih besar ketimbang yang 40 persen ke bawah,” tukas Enny. (Koj).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here