Home Benny's Wisdom Transformasi Struktur Ekonomi, Hikmah Covid 19

Transformasi Struktur Ekonomi, Hikmah Covid 19

0
SHARE

 

Oleh: Ir. S. Benny Pasaribu, MEc, PhD.

KRISIS kesehatan telah berimbas pada krisis ekonomi. Hal ini terjadi di 215 negara yang terpapar Pandemi Covid 19, termasuk Indonesia.
Sampai saat ini tidak ada yang mengetahui kapan Pandemi Covid 19 berakhir. Vaksin dan obatnya juga belum ditemukan. Berarti jumlah korban Covid 19 akan terus bertambah walaupun pemerintah telah berupaya keras untuk menghentikan penyebarannya. Sepanjang penyebaran Covid 19 terus meningkat maka kebijakan PSBB atau sejenisnya juga sulit dihentikan. Dampak negatif terhadap perekonomian juga tidak mudah dihilangkan, hanya bisa diminimalkan.

Berbagai kebijakan ekonomi telah dilaksanakan pemerintah. Pemerintah telah merestrukturisasi anggaran belanja APBN dengan megalihkan anggaran belanja dari kegiatan yang tidak mendesak ke belanja penanganan Covid 19. Tahap I disediakan dana Rp 405,1 triliun dan hingga kwartal II lebih dari Rp 600 trilun. Dana tersebut digunakan sebagai tambahan jaminan sosial dan stimulus ekonomi. Disamping itu, restruturisasi kredit korporasi juga dilakukan melalui perbankan. Warga kurang mampu yang terkena dampak diberikan bantuan sosial berupa paket sembako, PKH, BLT, sedangkan karyawan yang terkena PHK disediakan akses bantuan Kartu Pra Kerja, selanjutnya subsidi biaya listrik PLN diberikan khusus untuk rumah tangga berdaya listrik 450 Watt dan 900 Watt.

Di sisi anggaran pendapatan dalam APBN, penurunan juga terjadi terutama di sektor perpajakan akibat penurunan kinerja ekonomi. Defisit APBN makin lebar. Sehingga harus ditutup lewat pinjaman yang berakibat pada pembengkakan utang negara. Makin lama pandemi Covid 19 makin besar pula risiko yang kita hadapi.

Presiden Jokowi secara sadar dan realistis menyikapi persoalan ini. Presiden berulangkali menegaskan bahwa krisis yang kita hadapi tidak lagi hanya krisis kesehatan, tetapi juga krisis perekonomian. Presiden mengajak seluruh warga masyarakat agar berdamai dengan Covid 19.

Masyarakat diminta memahami adanya tatanan kehidupan new normal. Di satu sisi, Presiden meminta seluruh warga masyarakat lebih disiplin melakukan Protokol Kesehatan. Tetapi bersamaan juga diijinkan sejumlah dunia usaha menjalankan bisnisnya dan warga masyarakat boleh melakukan aktivitas sosialnya secara terbatas.

Resesi Ekonomi

Kita memang mengalami dampak negatif akibat PSBB sejak Maret 2020, ketika warga diminta stay home, work from home, dan banyak aktivitas ekonomi berhenti. Semua negara menghadapi masalah serupa, dan sebagian terbesar mengalami resesi cukup dalam. Indonesia juga mengalami resesi dengan penurunan pertumbuhan ekonomi berturut-turut pada kwartal I dan kwartal II. Pada kwartal I tahun 2020 ekonomi tumbuh hanya 2.97%, menurun dari kuartal sebelumnya (sekitar 5%). Pada kwartal II tahun 2020 diperkirakan akan menurun juga, diperkirakan bisa sampai negatif 3%. Pengangguran juga meningkat tajam dengan perkiraan tambahan sekitar 3 juta orang selama Maret – Juni 2020 akibat PHK dan dirumahkan. Angka kemiskinan juga meningkat tajam sebagai dampak penanganan Covid 19.

Pertanyaan masih tersisa, yakni dengan kondisi selama kwartal I dan II, bagaimana pertumbuhan ekonomi tahun 2020 bisa mencapai angka positif, katakanlah 0.5 – 3% ? Bagaimana pula pada tahun 2021?

Pilihan Kebijakan yang Tepat

Kita berharap pertumbuhan ekonomi pada kwartal III dan IV bisa positif setelah pengumuman new normal. Kerja keras saja tidak cukup. Sense of crisis juga penting. Tetapi itu juga tidak cukup. Kita juga harus mampu memilih kebijakan ekonomi yang tepat.
Memilih kebijakan yang tepat memang bukan pekerjaan yang mudah, tak bisa taken for granted. Dalam upaya merumuskan kebijakan yang tepat juga membutuhkan kolaborasi baik antar K/L dan antara pemerintah pusat dan daerah. Concerted actions dan gotong royong sangat diperlukan dalam situasi krisis seperti ini. Termasuk dengan mengajak partisipasi seluruh warga masyarakat dan dunia usaha.
Memilih kebijakan yang tepat bukanlah pekerjaan gampang.

Kita tau bahwa kebijakan yang tidak tepat bisa menimbulkan krisis makin dalam dan meluas, bahkan bisa mengakibatkan persoalan baru yang lebih rumit. Memang, setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Pilihan kebijakan selalu tersedia sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan hasil riset para akademisi dan praktisi. Best practices di negara sahabat juga bisa dipelajari.
Dunia ini juga telah mengalami krisis bahkan depresi yang berulang-ulang. Indonesia juga telah beberapa kali mengalami krisis ekonomi (katakanlah krisis tahun 1997, 2008, dan 2012). Tetapi, kemampuan memilih kebijakan yang tepat masih tetap menjadi persoalan.

Saat ini, kita kembali diuji. Kita harus mampu memilih kebijakan yang tepat. Di satu sisi kita harus mampu memitigasi dampak penanganan Covid 19 dan mempercepat pemulihan ekonomi.

Tetapi di sisi lain, yang lebih penting menurut saya, apakah kita mampu memilih kebijakan pemulihan ekonomi yang sekaligus melakukan perubahan besar dalam struktur ekonomi kita.
Mengapa hal ini penting? Kita perlu belajar kembali dari krisis ekonomi sebelumnya, dimana kita bisa keluar dari krisis tetapi dalam tempo yang relatif lama dan lagi-lagi berujung pada masalah yang sama, yakni kesenjangan sosial ekonomi yang makin lebar dan ekonomi bubble. Sebagian terbesar Industri yang ada saat ini masih hasil dari strategi Import Substitution Industries (ISI) pada tahun 70-an, yang sangat tergantung pada bahan baku impor (lebih dari 70%) dan pinjaman dana dari negara lain. Industri tersebut kurang terkait dengan pelaku UMKM dan Koperasi, dan selalu tergantung pada upah murah dan berbagai insentif dari pemerintah. Sedangkan ekspor masih bertumpu pada komoditas primer, dengan nilai tambah rendah. Belum lagi harga komoditas yang cenderung menurun dan fluktuatif.

Struktur ekonomi seperti ini sangat rentan terhadap gejolak ekonomi regional dan global. Keadilan ekonomi juga sangat sulit dicapai.
Dari pengalaman tersebut kita pelajari bahwa something wrong dengan kebijakan yang dipilih.

Ke depan, kita butuh transformasi struktural kalau tidak mau terjerambab pada lobang yang sama. Momentumnya sangat tepat untuk memulainya saat ini. Mudah-mudahan inilah hikmah dari bencana pandemi Covid 19.
Kita semua harus berubah kalau tidak mau kena disrupsi. Ibarat rumput kering, rakyat kita saat ini lebih mudah terpicu konflik. Mudah-mudahan warga bisa lebih panjang sabar dan mampu menahan diri.

Transformasi Struktur Industri

Saya pelajari bahwa strategi Industrialisasi yang tepat harus berbasis pada potensi dan keunggulan yang kita miliki. Kita mengetahui persis di sektor apa sebagian terbesar warga masyarakat mencari kehidupan. Kita juga mengetahui persis jumlah dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan kapasitas inovasi yang kita miliki.

Itulah sebabnya, saya selalu mengatakan dalam berbagai kesempatan bahwa industrialisasi Indonesia selayaknya fokus pada 4 sektor utama yakni : pertanian, maritim, pariwisata, dan ekonomi kreatif. Strategi industrialisasi harus melibatkan 2 elemen penting yaitu melibatkan rakyat banyak dan menggunakan bahan baku dari produk unggulan dan kearifan lokal. Seluruh instrumen kebijakan yang ada di tangan pemerintah, katakanlah bantuan dana APBN, insentif fiskal dan moneter/ perbankan, kebijakan ekspor-impor, peringkasan & percepatan perijinan, serta perpaduan teknologi industri 4.0, perlu difokuskan pada pengembangan 4 sektor dimaksud. Dana stimulus yang ada saat ini seyogyanya diprioritaskan pada percepatan proses transformasi dimaksud. Demikian juga substansi Omnibus law dapat dijadikan landasan hukum yang kuat untuk membangun ekosistem dan platform mempercepat transfromasi struktur ekonomi.

Saya yakin, transformasi struktur ekonomi tersebut akan ditandai dengan tumbuhnya industri yang bertumpu pada value chain dan supply chain, yang menggunakan bahan baku lokal dan melibatkan rakyat banyak. Selanjutnya, kolaborasi dapat berkembang secara luas antara usaha besar dan UMKM dan antara BUMN, Koperasi, dan Swasta. Kolaborasi tersebut ditopang oleh UMKM dan Koperasi yang kuat dan tangguh.

Untuk itu UMKM dan Koperasi perlu ditangani lebih serius dan sistematis, terutama yg bergerak di 4 sektor prioritas tersebut.

Ujungnya, kita akan menyaksikan tingkat kebahagiaan warga masyarakat yang lebih baik. Manfaat nyata juga dapat diukur dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan, angka kemiskinan dan pengangguran lebih rendah. Dan yang lebih penting kesenjangan sosial ekonomi semakin menipis. Keadilan makin terasa gregetnya.
Dengan transformasi struktural itulah kita akan merasakan adanya hikmah besar di balik serangan pandemi Covid 19.

Memang kita hanya bisa berharap pada hikmad kebijaksanaan pemerintah. Dengan kepercayaan yang tinggi, warga juga yakin bahwa Presiden Jokowi akan tetap konsisten menerapkan kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil, membangun dari desa, dan meletakkan dasar pijakan yang kuat hingga tahun 2024 menuju Indonesia maju, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Akhirnya, kita masih perlu saling mengingatkan, bahwa Sistem Ekonomi kita harus merupakan turunan dari Pancasila dan UUD 1945, yang pada dasarnya memerintahkan negara untuk hadir sebagai pengendali pasar, mewujudkan efisiensi dan keadilan, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Semoga!

Penulis:
Benny Pasaribu, PhD adalah Dosen dan Ketua Senat Universitas Trilogi; mantan Ketua Komisi Keuangan dan Ketua Panitia Anggaran DPR RI; mantan Wakil Ketum/ Ketua Harian HKTI.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here