Matanurani, Jakarta – Sejumlah pengamat menilai peningkatan diplomasi dagang untuk memacu ekspor tidak akan efektif, jika Indonesia tidak memiliki produk variatif yang akan ditawarkan ke pasar global.
Karenanya, pemerintah perlu memiliki komitmen tinggi dan nyata untuk memperkuat industri bernilai tambah nasional, agar mampu menghasilkan aneka produk berdaya saing tinggi yang akan dijual di pasar ekspor.
Anggota Pokja Komite Ekononi dan Industri Nasional )KEIN), Benny Pasaribu mengemukakan diplomasi dagang sangat penting namun bisa jadi bumerang bagi Indonesia karena impor dapat meningkat cepat.
“Jika barang ekspor kita masih tetap tergantung pada produk primer, dan tidak diikuti dengan produk yang variarif dan berbasis industri maka ekspor justru sulit berkembang,” ungkap Benny kepada matanurani, di Jakarta, Kamis (16/2).
Diplomasi dagang menurut Benny akan berujung pada kemudahan transaksi ekspor dan impor. “Karenanya, fokus pemerintah adalah mendorong berbagai jenis produk hasil industri berbahan baku dari dalam negeri yang bernilai tambah tinggi,” terangnya.
Struktur ekonomi Indonesia menurut pemganatan Benny menunjukkan adanya loncatan, transformasi struktural dari semula tergantung pada sektor primer seperti pertanian dan tambang berubah ke sektor jasa.
“Tentu saja sektor jasa tidak bisa diharapkan menaikkan ekspor sehingga ekspor masih tergantung produk primer,” jelasnya.
Sementara ditempat terpisah Direktur Pusat Studi Masyarakat (PSM) Yogyakarta, Irsad Ade Irawan, mengatakan peran diplomasi ekonomi memang penting, namun sebelumnya Indonesia harus memperkuat industri bernilai tambah yang didukung komitmen kuat dari pemerintah.
“Kalau industri nilai tambah kita tidak kuat, kita tidak punya barang yang bisa ditawarkan dalam diplomasi ekonomi. Ekspor kita masih didominasi komoditas primer, seperti sawit dan batu bara,” ujarnya.
Menurut Irsad, dukungan penuh pemerintah sangat penting bagi kemajuan industri. Contohnya, Tiongkok berencana membangun pusat baterai lithium terbesar di dunia untuk menyaingi Tesla dari Amerika Serikat.
Ini berkat dukungan kuat pemerintah. Dia juga menyatakan sebelum membangun industri bernilai tambah, Indonesia harus terlebih dahulu memperkuat industri dasar termasuk pangan. Akan tetapi, menurut dia, saat ini industri dasar nasional tertinggal karena sistem kebijakan pemerintah yang tidak mendukung.
“Yang terjadi adalah high cost economy, dan kebijakan yang condong bela importir. Padahal, yang diminta pengusaha itu bukan proteksi, tapi keberpihakan. Jika pemerintah tidak berpihak, industri sulit maju bahkan bisa mati,” papar Irsad.
Faktanya, ungkap dia, selama bertahun-tahun hingga saat ini Indonesia cuma jadi perakit. Pengusaha lebih memilih menjadi importir karena modal tidak terlalu besar, produknya relatif lebih bagus, harga lebih murah, dan keuntungan lebih tinggi.
Sebelumnya, menanggapi ketertinggalan ekspor Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para duta besar Indonesia agar lebih intensif melakukan diplomasi ekonomi, terutama untuk meningkatkan nilai ekspor dan investasi Indonesia ke berbagai negara pasar nontradisional.
Presiden mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negara hanya bergantung pada dua hal, yaitu investasi dan ekspor. “Jadi, bapak/ ibu dubes harus berhadapan pada dua hal ini untuk menjalankan diplomasi ekonomi kita di luar negeri,” ujar Jokowi, Senin (12/2) lalu. (Smn).